Jumat, 15 Mei 2015

Oleh: Afsokhi Abdulloh
Twitter: @AfsokhiOchi__


Lapangan sekolah sudah penuh dengan lautan manusia berseragam putih-putih, mengenakan dasi yang sama, topi yang sama dan warna sepatu dan kaus kaki yang sama. Kami akan melaksanakan upacara bendera yang rutin dilaksanakan hari Senin. Kini barisan sedang dirapikan oleh masing-masing ketua kelompok. Suara bising, terkadang suara dari ketua tidak terdengar sampai ke telinga.
Kerena lama menunggu kerapian barisan, guru kesiswaan turun ke lapangan dan ikut merapikan barisan. Saya baris di barisan depan. Di samping saya ada seorang teman, dia tampak tak mau diatur. Ketika Ibu guru kesiswaan mendekat di barisan kami, dia tetap saja asyik dengan dirinya sendiri, tidak mau diatur dan merasa bebas ingin melakukan apa saja.
Guru kesiswaan pun berkata kepada barisan kami dengan mata mendelik, “Ayo baris, baris…, yang barisnya tidak lurus nanti masa depannya suram. Dan yang barisnya lurus, masa depannya bagus. Ayo baris, baris….” Begitu katanya, saya terus berpikir: memang masa depan dapat dilihat dari cara kita berbaris ya?
Mungkin lebih tapatnya dilihat dari ketaan kita pada aturan, mungkin.   
Teman sebelah saya malah berceletuk, “SEKARAPMU!”
Guru kesiswaan mendengar, lalu memarahinya dengan bahasa Jawa, cukup lama, beberapa barisan yang lain melihat kejadian ini. Selepas itu, dengan bahasa Indonesia beliau berkata, “ Nanti kamu ke ruangan Ibu!”
Upacara pun dimulai ketika barisan sudah benar-benar rapi.
***
Semua orang memang butuh kebebasan, dan kebebasan juga harus ada batasnya. Maka dari itu, adalah peraturan untuk membatasinya lalu dibarengin dengan sanksi dan penegak aturannya. Bukan begitu?
Namun jika setiap hari, iya setiap hari, jika setiap hari kita terus-terusan diatur dan dipaksa untuk mengikuti aturan, apa yang terjadi? Ya, yang terjadi adalah kita akan membengkang dan ingin membebaskan diri. Mungkin ini berlaku untuk sebagian banyak orang, sisanya akan ikutan aturan tersebut, mungkin begitu.
Seperti halnya konvoi yang rutin diadakan ketika mereka sehabis UN. Mereka akan merayakannya. Seolah baru saja keluar dari penjara yang bernama sekolah. Dan mungkin dalam alam bawah sadar mereka, mereka merasa bebas ketika UN selesai, bebas sebebas-bebasnya.
Bebas dari peraturan yang mengekang dari sekolah, bebas dari PR yang menumpuk, bebas dari tugas yang harus dikerjakan dengan hapalan.
Mungkin masalah konvoi di jalanan atau perayaan sehabis UN tidak akan punah dari negeri ini jika pendidikan itu sendiri tidak segera dibenahi.***


Cowok kelahiran 16 November 1998 di Cilacap ini hobi menulis dan mempunyai jiwa kewartawanan. Cukup resah dengan minat baca di Indonesia. Terus berjuang dengan menulis dan, menulis dan menulis untuk berbagi. Juga masih belajar untuk lebih baik lagi~

Kunjungi rumah elektroniknya: Blognya Afsokhi



Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kamu Pembaca Ke

Random Post

Galeri foto

Galeri foto

Ikuti media sosial kami