Oleh: Afsokhi Abdulloh
Twitter: @AfsokhiOchi__
Lapangan sekolah sudah penuh dengan
lautan manusia berseragam putih-putih, mengenakan dasi yang sama, topi yang
sama dan warna sepatu dan kaus kaki yang sama. Kami akan melaksanakan upacara bendera yang rutin
dilaksanakan hari Senin. Kini barisan sedang dirapikan oleh masing-masing ketua
kelompok. Suara bising, terkadang suara dari ketua tidak terdengar
sampai ke telinga.
Kerena lama menunggu kerapian
barisan, guru kesiswaan
turun ke lapangan dan ikut merapikan barisan. Saya baris di barisan depan. Di
samping saya ada seorang teman, dia tampak tak mau diatur. Ketika
Ibu guru kesiswaan mendekat di
barisan kami, dia tetap saja asyik dengan dirinya sendiri, tidak mau
diatur dan merasa bebas ingin melakukan apa saja.
Guru kesiswaan pun berkata kepada barisan kami
dengan mata mendelik, “Ayo baris,
baris…, yang barisnya tidak lurus nanti masa depannya suram. Dan yang barisnya
lurus, masa depannya bagus. Ayo baris, baris….” Begitu katanya, saya terus
berpikir: memang masa depan dapat dilihat dari cara kita berbaris ya?
Mungkin lebih tapatnya dilihat dari ketaan kita pada
aturan, mungkin.
Teman sebelah saya malah berceletuk, “SEKARAPMU!”
Guru kesiswaan mendengar, lalu memarahinya dengan bahasa
Jawa,
cukup lama, beberapa barisan yang lain melihat kejadian ini. Selepas itu, dengan bahasa Indonesia beliau berkata, “ Nanti
kamu ke ruangan Ibu!”
Upacara pun dimulai ketika barisan sudah benar-benar
rapi.
***
Semua orang memang butuh kebebasan, dan kebebasan juga
harus ada batasnya. Maka dari itu, adalah peraturan untuk membatasinya lalu
dibarengin dengan sanksi dan penegak aturannya. Bukan begitu?
Namun jika setiap hari, iya setiap hari, jika setiap hari
kita terus-terusan diatur dan dipaksa untuk mengikuti aturan, apa yang terjadi?
Ya, yang terjadi adalah kita akan membengkang dan ingin membebaskan
diri. Mungkin ini berlaku untuk sebagian banyak orang, sisanya akan ikutan
aturan tersebut, mungkin begitu.
Seperti halnya konvoi yang rutin diadakan ketika mereka
sehabis UN. Mereka akan merayakannya. Seolah baru saja keluar dari penjara yang
bernama sekolah. Dan mungkin dalam alam bawah sadar mereka, mereka merasa bebas
ketika UN selesai, bebas
sebebas-bebasnya.
Bebas dari peraturan yang mengekang dari sekolah, bebas
dari PR yang menumpuk, bebas dari tugas yang harus dikerjakan dengan hapalan.
Mungkin masalah konvoi di jalanan atau perayaan sehabis
UN tidak akan punah dari negeri ini jika pendidikan itu sendiri tidak segera
dibenahi.***
Cowok kelahiran 16 November 1998 di Cilacap ini hobi menulis dan mempunyai jiwa kewartawanan. Cukup resah dengan minat baca di Indonesia. Terus berjuang dengan menulis dan, menulis dan menulis untuk berbagi. Juga masih belajar untuk lebih baik lagi~
Kunjungi rumah elektroniknya: Blognya Afsokhi