Sumber gambar |
emua warga sekolah menanti pindahnya
kepala sekolah. Tak ada informasi penting yang lebih penting bagi mereka selain
angkat kakinya kepala sekolah. Majalah dinding di sekolah itu sepi, kalaupun
ada isinya, yang paling dinanti adalah informasi tentang mutasi atau apalah itu
yang berbau kepemindahan jabatan kepala sekolah.
“Yaelah, kepala sekolah belum pindah
juga!” kata seorang murid di depan mading, rutin ia mengecek mading sekolah
tersebut, saban pagi.
Kepala
sekolah sangat dibenci oleh warga sekolah. Mulai dari murid, guru, staf TU,
pedagang kantin, penjaga sekolah, satpam, semua benci kepada beliau. Akan
tetapi, tak ada raut merasa-dibenci di wajah beliau. Wajah beliau biasa-biasa
saja, tersenyum, ramah, menyapa, walau pada dasarnya beliau tahu bahwa ia
memang dibenci banyak warga sekolah.
Menjadi
orang nomor satu di sekolah yang didanai oleh negara, beliau adalah pemegang
kebijakan yang mutlak. Kekuasaan itulah yang digunakan beliau tidak dengan
semestinya, tidak pada jalannya. Setiap sekolah yang didanai negara, akan
mendapat dana jutaan rupiah atau bahkan lebih, itu untuk mendanai
sarana-prasarana, kegiatan, gaji, dan sebagainya. Namun, sekolah yang—dikepalai
kepala sekolah yang sangat dibenci warga sekolah itu—tak tampak mengadakan
acara kegiatan, sarana-prasarana pun itu-itu saja bahkan ada yang sudah tak
layak, kabarnya gaji guru bermasalah, ditambah lagi penjaga sekolah yang
gajinya dipotong tanpa alasan.
Semua menanti pindahnya kepala sekolah tidak
transparan itu..
Kalaupun
ada yang dekat dengan beliau, yang dekat akan tampak biasa-biasa saja, kendati
tak dapat dipungkiri, hatinya pasti benci pada beliau. Sangat benci!
Kau
tahu? Beliau adalah orang kaya, seorang wirausahawan sukses. Bisnisnya di mana
saja. Mulai bisnis kacang ijo, melinjo, hingga coro. Cabangnya di mana saja,
sampai ia lupa di mana saja, hahaha. Sungguh kaya raya beliau ini. Tak jarang
ia orasikan kepada warga sekolah agar menjadi orang sepertinya.
“Jadilah
seperti saya! Orang kaya! Jangan malas mencari uang! Jadilah seperti saya…!”
Saban akhir pekan, ia
akan mandi uang di kamarnya, sambil menghitung uang hasil jeri payahnya itu
dibarengi nyayian dari pita suaranya yang payah. Lalala.. nanana..
“Biarkan
saja sekolah ini ambruk, lala.. nana.. yang
penting aku kaya! Hahaha!” tawa kepala sekolah di ruangannya, jam delapan malam
ketika sekolah sepi. Entah apa yang beliau lakukan di sana malam itu.
“Bapak
kepala sekolah, kapan Bapak pindah?” tanya murid yang rajin mengecek mading
itu, suatu pagi.
“Kurang
ajar kamu!” Murka kepala sekolah, wajahnya merah padam, dadanya ada api
berkobaran.
“Kenapa?
Saya hanya bertanya, salah?”
“Jelas-jelas
salah! Tak tahu etika, belajar selama ini ngapain?!”
“Bapak
selama ini menjadi kepala sekolah, ngapain? Pagi ini saja telat? Bahkan
pagi-pagi yang lalu saya lihat Bapak selalu telat!”***
Afsokh Q Seorang pramuka bantara yang
ngaku-ngaku penulis.
Twitternya: @SoQ__