Jumat, 18 Desember 2015

Sumber gambar

Semua warga sekolah menanti pindahnya kepala sekolah. Tak ada informasi penting yang lebih penting bagi mereka selain angkat kakinya kepala sekolah. Majalah dinding di sekolah itu sepi, kalaupun ada isinya, yang paling dinanti adalah informasi tentang mutasi atau apalah itu yang berbau kepemindahan jabatan kepala sekolah.
            “Yaelah, kepala sekolah belum pindah juga!” kata seorang murid di depan mading, rutin ia mengecek mading sekolah tersebut, saban pagi.
            Kepala sekolah sangat dibenci oleh warga sekolah. Mulai dari murid, guru, staf TU, pedagang kantin, penjaga sekolah, satpam, semua benci kepada beliau. Akan tetapi, tak ada raut merasa-dibenci di wajah beliau. Wajah beliau biasa-biasa saja, tersenyum, ramah, menyapa, walau pada dasarnya beliau tahu bahwa ia memang dibenci banyak warga sekolah.
            Menjadi orang nomor satu di sekolah yang didanai oleh negara, beliau adalah pemegang kebijakan yang mutlak. Kekuasaan itulah yang digunakan beliau tidak dengan semestinya, tidak pada jalannya. Setiap sekolah yang didanai negara, akan mendapat dana jutaan rupiah atau bahkan lebih, itu untuk mendanai sarana-prasarana, kegiatan, gaji, dan sebagainya. Namun, sekolah yang—dikepalai kepala sekolah yang sangat dibenci warga sekolah itu—tak tampak mengadakan acara kegiatan, sarana-prasarana pun itu-itu saja bahkan ada yang sudah tak layak, kabarnya gaji guru bermasalah, ditambah lagi penjaga sekolah yang gajinya dipotong tanpa alasan.
            Semua menanti pindahnya kepala sekolah tidak transparan itu..
            Kalaupun ada yang dekat dengan beliau, yang dekat akan tampak biasa-biasa saja, kendati tak dapat dipungkiri, hatinya pasti benci pada beliau. Sangat benci!
            Kau tahu? Beliau adalah orang kaya, seorang wirausahawan sukses. Bisnisnya di mana saja. Mulai bisnis kacang ijo, melinjo, hingga coro. Cabangnya di mana saja, sampai ia lupa di mana saja, hahaha. Sungguh kaya raya beliau ini. Tak jarang ia orasikan kepada warga sekolah agar menjadi orang sepertinya.
            “Jadilah seperti saya! Orang kaya! Jangan malas mencari uang! Jadilah seperti saya…!”
Saban akhir pekan, ia akan mandi uang di kamarnya, sambil menghitung uang hasil jeri payahnya itu dibarengi nyayian dari pita suaranya yang payah. Lalala.. nanana..
            “Biarkan saja sekolah ini ambruk, lala.. nana.. yang penting aku kaya! Hahaha!” tawa kepala sekolah di ruangannya, jam delapan malam ketika sekolah sepi. Entah apa yang beliau lakukan di sana malam itu.
            “Bapak kepala sekolah, kapan Bapak pindah?” tanya murid yang rajin mengecek mading itu, suatu pagi.
            “Kurang ajar kamu!” Murka kepala sekolah, wajahnya merah padam, dadanya ada api berkobaran.
            “Kenapa? Saya hanya bertanya, salah?”
            “Jelas-jelas salah! Tak tahu etika, belajar selama ini ngapain?!”
            “Bapak selama ini menjadi kepala sekolah, ngapain? Pagi ini saja telat? Bahkan pagi-pagi yang lalu saya lihat Bapak selalu telat!”***


Afsokh Q Seorang pramuka bantara yang ngaku-ngaku penulis. 

Twitternya: @SoQ__

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kamu Pembaca Ke

Random Post

Galeri foto

Galeri foto

Ikuti media sosial kami