Ini ketika pak Rangga diwawancarai oleh tim jurnalis |
Rabu, 1 Desember
2015 saya menghadapi try out. Padahal, sekolah-sekolah lain udah melaksanakan
percobaan UN ini. Dan memang, SMK N 11 Jakarta identik dengan ketertinggalan,
ini sudah biasa..
Zaddii.., yang akan saya sorot di sini adalah seorang pengawas yang
bernama Pak Rangga mengomentari SMK N 11 Jakarta dengan nada kesal. Pak Rangga
adalah guru PKM dari UNJ, Pak Rangga sudah mengajar di SMK 11 sejak saya PKL
beberapa bulan yang lalu, hm.. lumayan lama Pak Rangga mengajar di SMK 11.
Pagi itu, try out pertama adalah pelajaran bahasa Indonesia, Pak Rangga
pengawasnya. Suasana sepi, lembaran soal dan LJK sudah dibagikan oleh Pak
Rangga dengan seksama. Badannya yang lumayan beriisi, rambutnya yang lemas,
berbolak-balik dengan rajin membagikan lembaran-lembaran itu ke masing-masing peserta ujian.
FYI. SMK 11 itu pasti berbeda dengan sekolah lain. Ketika try out,
peserta try out digabung dengan kelas XI yang UAS. Sekedar info, try out ini
juga digabung dengan UAS dan CBT secara berurutan. Bayangkan, bagaimana
stress-nya kepala para siswa/siswi kelas XII ini?!
Dalam pada itu, saya duduk paling depan. Syahdan, ada peserta yang
bertanya kepada Pak Rangga, bertanya terkait lembar soal yang kurang jelas.
Lalu Pak Rangga menjawab. Hingga pada akhirnya saya mendengar beliau berkata
dengan nada lirih namun masih bisa didengar dengan jelas, bernada kesal.
“SEKOLAH NGGAK JELAS!”
Sontak saya yang sedang menghitamkan lembar jawaban tertawa, tak terlalu
keras, hanya berdecak. Dalam hati saya berkata, “Memang sekolah ini ndak jelas,
Pak! Lantas kenapa Bapak ada di sini?!”
Di sesi lain, Pak Rangga juga mengomentari guru-guru di SMK 11. Katanya,
guru di SMK 11 barsifat individualisme, dan perlu dievaluasi. Komentar ini
beliau lontarkan ketika diadakannya wawancara ekskul jurnalis dengan guru-guru
PKM yang salah satunya ialah beliau.
Hari ini, 2 Desember 2015, saya mendengar seseorang berkata menyesal
masuk SMK 11. Waktu itu menjelang siang di kantin sekolah. Kantin lumayan sepi,
hanya beberapa orang saja. Lantas ada seorang siswi membeli es sambil curhat
pada temannya yang menemaninya.
“UAS soalnya esai semua. Uh. Nyesel gue masuk sini. Kalau tau gitu,
mending masuk (SMK) 27,” katanya, dengan mulut berbelak-belok.
“Emang bisa masuk 27?” tanya tukang es, spontan.
“Bisalah, kan jalur prestasi..,” jawab si siswi.
Idihh..
sombong.. saya yang melihatnya berbicara seperti itu, beberapa detik ia juga
melihat ke arah saya. Mata kita beberapa detik bertemu, saya temukan sorot mata
yang, ah, susah dijelaskan.
***
Berbicara
tantang SMK N 11 Jakarta memang tak ada abisnya. Sudahlah, kalau memang sudah
terlanjur masuk dan mengenyam pendidikan di sekolah tersebut, terima saja apa
yang diajarkan. Yang menentukan seseorang sukses atau tidak bukan tergantung
sekolahnya, tapi dirinya sendiri, cari jati diri dan eksplor semua itu. Sekolah
hanya syarat bagi seseorang untuk menjadi berharga, dengan memakan banyak mata
pelajaran dan dengan cara sontek menyontek dan dengan hanya mengikuti arus,
tanpa berpikir apakah yang telah dipelajarinya bermanfaat atau tidak, atau
bahkan ia hanya kesia-siaan?***
Afsokh Q, Pramuka Bantara yang ngaku-ngaku penulis. |