Politik, memang identik
dengan partai, ketatanegaraan, petugas kepemerintahan, atau bahkan korupsi? Namun,
apakah kita sudah memahami benar apa itu politik? Yang sebenarnya tidak hanya
mengenai korupsi, kekejaman, dan sebagainya.
Meskipun kita sudah
belajar Pendidikan Kewarnegaraan (PKN) di sekolah, tapi kita hanya sedikit
mendapatkan pemahaman tantang politik. Dan jika pembelajaran tersebut
menyinggung kepemerintahan, kita sudah muak, dan mengacuhkannya karena melihat
realita yang ada di negara ini. Mungkin ada beberapa masyarakat di Indonesia
yang mendapatkan pendidikan politik dan memahaminya dengan sebenar-benarnya.
Perlu diketahui
bersama, bahwasanya politik (dari bahasa Yunani: politikos, yang berarti dari,
untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara). Di samping itu, politik juga dapat ditilik dari sudut pandang
berbeda, yaitu politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan
kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).
Dalam konteks memahami
politik, perlu dipahami juga beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik,
legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses
politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk-beluk tentang
partai politik.
Ketahuilah, tanpa
sadar, kita sudah melakukan kegiatan politik, kerena pada dasarnya politik itu menyangkut
kekuasaan. Dimana-mana kita dapati pembagian kekuasaan, contohnya: pemilihan pengurus
kelas (di sekolah), organisasi kemasyarakatan, atau yang paling dekat yaitu
keluarga. Maka dari itu, sebenarnya kita sudah masuk dalam pelaku politik.
Pendidikan
Politik
Pada dasarnya,
pendidikan politik itu harus disosialisasikan, tapi pada kenyataannya, partai
politik yang adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak
dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, tidak memberikan pendidikan politik kepada
masyarakat kebanyakan. Mereka hanya aktif ketika tiba musim pemilihan presiden,
gubernur, wali kota dan sebagainya. Seharusnya, partai politik berusaha
mewujudkan kebaikan bersama, harusnya mereka melakukan sosialisasi politik,
tidak hanya meminta suara kepada masyarakat kebanyakan, dan lalu
disalahgunakan.
Lingkup pendidikan politik adalah antara lain: kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi pekerti, dan keikhlasan berkorban untuk kepentingan bangsa. Tapi ironisnya, meskipun negara kita berlandaskan hukum, masih sajalah ada kejadian seperti pembunuhan, pemerkosaan, intimidasi, dan masih banyak lagi macamnya. Dan terkadang pelakunya tidak divonis sesuai Undang-Undang/peraturan sudah dibuat. Rasanya, Undang-Undang itu hanyalah pelengkap ketatanegaraan yang terus dibohongi oleh bangsa pembuatnya sendiri. Itu adalah ibas dari minimnya pendidikan politik di Indonesia, yang juga mengakibatkan kedewasaan berpolitik masih jauh dari yang diinginkan bersama.
Lingkup pendidikan politik adalah antara lain: kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi pekerti, dan keikhlasan berkorban untuk kepentingan bangsa. Tapi ironisnya, meskipun negara kita berlandaskan hukum, masih sajalah ada kejadian seperti pembunuhan, pemerkosaan, intimidasi, dan masih banyak lagi macamnya. Dan terkadang pelakunya tidak divonis sesuai Undang-Undang/peraturan sudah dibuat. Rasanya, Undang-Undang itu hanyalah pelengkap ketatanegaraan yang terus dibohongi oleh bangsa pembuatnya sendiri. Itu adalah ibas dari minimnya pendidikan politik di Indonesia, yang juga mengakibatkan kedewasaan berpolitik masih jauh dari yang diinginkan bersama.
Sampai saat ini, kita hanya
dapati sebagian besar Pendidikan Politik melewati apa yang tercermin pada
kepemerintahan negara kita, dan lalu ditayangkan di media sosial walau
terkadang menimbulkan paradigma yang berbeda-beda di benak rakyat kebanyakan.
Karenanya, politik di negara kita ini masih jauh dari kedewasaan berpolitik
sesunguhnya.
Kedewasaan Berpolitik
adalah sikap insan politik yang menceminkan pola pikir, berucap dan bertindak
sesuai dengan apa yang diamanahkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Namun, realita
yang ada ialah budaya saling ‘ejek’ atau ‘menjatuhkan’ pesaing yang identik
dengan kompetisi tidak sehat (tidak etis).
Apakah
budaya politik itu?
Budaya politik
merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara; penyelenggaraan
administrasi negera; politik pemerintah; hukum; adat-istiadat dan norma
kebiasaan yang dihayati oleh seluruh masyarakat setiap harinya. Budaya politik
juga dapat diartikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang
memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif
dan penentuan kebijakan publik. Secara umum, budaya politik terbagi atas: budaya
politik apatis (acuh, masa bodoh, dan pasif),
budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi), budaya
politik partisipatif (aktif).
Budaya Politik sangat
dipengaruhi oleh etika dan adat-istiadat pada suatu negara dan wilayah contohnya:
Pertama, masyarakat Jawa dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat hirakis. Strafikasi sosial yang hirakis ini tampak dari adanya pemilihan tegas antara penguasa (wong gedhe) dengan rakyat kebanyakan (wong cilik). Masing-masing terpisah melalui tatanan hirakis yang sangat ketat. Alam pikiran dan tatacara sopan santun diekspresikan sedemikan rupa sesuai dengan asal-usul kelas masing-masing. Penguasa dapat mengguanakan bahasa ‘kasar’ kepada masyarakat kebanyakan. Sebaliknya, rakyat harus mengekspersikan diri kepada penguasa dengan bahasa ‘halus’. Dalam kehidupan berpolitik, pengaruh sratifikasi sosial semacam ini antara lain tercermin pada penguasa yang hanya memandang dirinya ketimbang kepada rakyatnya.
Pertama, masyarakat Jawa dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat hirakis. Strafikasi sosial yang hirakis ini tampak dari adanya pemilihan tegas antara penguasa (wong gedhe) dengan rakyat kebanyakan (wong cilik). Masing-masing terpisah melalui tatanan hirakis yang sangat ketat. Alam pikiran dan tatacara sopan santun diekspresikan sedemikan rupa sesuai dengan asal-usul kelas masing-masing. Penguasa dapat mengguanakan bahasa ‘kasar’ kepada masyarakat kebanyakan. Sebaliknya, rakyat harus mengekspersikan diri kepada penguasa dengan bahasa ‘halus’. Dalam kehidupan berpolitik, pengaruh sratifikasi sosial semacam ini antara lain tercermin pada penguasa yang hanya memandang dirinya ketimbang kepada rakyatnya.
Kedua,
kecenderungan
patronage. Pola hubungan patronage merupakan salah satu budaya
politik yang menonjol di Indonesia.
Pola hubungan ini bersifat individual. Dalam kehidupan berpolitik, tumbuhnya
budaya politik semacam ini tampak di kalangan pelaku politik partai. Mereka lebih memilih mencari dukungan dari
atas (penguasa politik) daripada menggali dukungan dari rakyat.
Ketiga,
kecenderungan
neo-patriomonislistik. Kecenderungan
dalam kehidupan berpolitik di Indonesia adalah munculnya budaya politik yang
bersifat noe-patrimonisalistik,
artinya, meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik
seperti birokasi, pelaku politik masih memperlihatkan tradisi dan budaya
politik yang berkarakter patrimonial.
Etika
dalam budaya politik
Etika, menurut etimologi
bahasa, kata ‘etika’ berasal dari
bahasa Yunani kuno. Ethos dalam bahasa Yunani mempunyai banyak arti: tempat
tinggal biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak,
perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk jamaknya taetha artinya adalah latar bekalang adat kebiasaan.
Filfosof Immanuel Kant
pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap elit politik, yaitu
merpati dan ular. Elit politik memiliki watak merpati yang lembut dan penuh
kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga mempunyai watak ular
yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Celakanya,
yang sering menonjol adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya. Metafora
sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum
ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstimitasi watak politisi pun
diasosiasikan dengan “watak binatang”.
Di sisi lain, penerapan
etika dalam politik adalah sarana yang diharapkan mampu menciptakan suasana
harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik, serta antara kelompok
kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemajuan bangsa dan negara,
dengan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongannya.
Etika dan Budaya
Politik mutlak diperlukan bagi perkembangan kehidupan politik, dan merupakan
prinsip pedoman dasar yang dijadikan sebagai fondasi pembentukan dan perjalanan
roda pemerintahan yang dinyatakan dalam konstitusi negara.
Setelah kita ketahui
bersama apa sebenarnya apa itu politik. Alangkah baiknya kita generasi muda (khususnya)
memperbaiki budaya politik di negara ini sehingga lahirlah kedewasaan politik
yang kita damba-dambakan bersama, dan pada akhirnya tidak ada lagi perselisihan
atau sampai mengakibatkan jiwa melalayang. Kita mulai dari diri sendiri (pelaku
politk).