Jumat, 07 November 2014



Politik, memang identik dengan partai, ketatanegaraan, petugas kepemerintahan, atau bahkan korupsi? Namun, apakah kita sudah memahami benar apa itu politik? Yang sebenarnya tidak hanya mengenai korupsi, kekejaman, dan sebagainya.

Meskipun kita sudah belajar Pendidikan Kewarnegaraan (PKN) di sekolah, tapi kita hanya sedikit mendapatkan pemahaman tantang politik. Dan jika pembelajaran tersebut menyinggung kepemerintahan, kita sudah muak, dan mengacuhkannya karena melihat realita yang ada di negara ini. Mungkin ada beberapa masyarakat di Indonesia yang mendapatkan pendidikan politik dan memahaminya dengan sebenar-benarnya.
Perlu diketahui bersama, bahwasanya politik (dari bahasa Yunani: politikos, yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara). Di samping itu,  politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).

Dalam konteks memahami politik, perlu dipahami juga beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk-beluk tentang partai politik.

Ketahuilah, tanpa sadar, kita sudah melakukan kegiatan politik, kerena pada dasarnya politik itu menyangkut kekuasaan. Dimana-mana kita dapati pembagian kekuasaan, contohnya: pemilihan pengurus kelas (di sekolah), organisasi kemasyarakatan, atau yang paling dekat yaitu keluarga. Maka dari itu, sebenarnya kita sudah masuk dalam pelaku politik.

Pendidikan Politik
Pada dasarnya, pendidikan politik itu harus disosialisasikan, tapi pada kenyataannya, partai politik yang adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak memberikan pendidikan politik kepada masyarakat kebanyakan. Mereka hanya aktif ketika tiba musim pemilihan presiden, gubernur, wali kota dan sebagainya. Seharusnya, partai politik berusaha mewujudkan kebaikan bersama, harusnya mereka melakukan sosialisasi politik, tidak hanya meminta suara kepada masyarakat kebanyakan, dan lalu disalahgunakan.

Lingkup pendidikan politik adalah antara lain: kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi pekerti, dan keikhlasan berkorban untuk kepentingan bangsa. Tapi ironisnya, meskipun negara kita berlandaskan hukum, masih sajalah ada kejadian seperti pembunuhan, pemerkosaan, intimidasi, dan masih banyak lagi macamnya. Dan terkadang  pelakunya tidak divonis sesuai Undang-Undang/peraturan sudah dibuat. Rasanya, Undang-Undang itu hanyalah pelengkap ketatanegaraan yang terus dibohongi oleh bangsa pembuatnya sendiri. Itu adalah ibas dari minimnya pendidikan politik di Indonesia, yang juga mengakibatkan kedewasaan berpolitik masih jauh dari yang diinginkan bersama.

Sampai saat ini, kita hanya dapati sebagian besar Pendidikan Politik melewati apa yang tercermin pada kepemerintahan negara kita, dan lalu ditayangkan di media sosial walau terkadang menimbulkan paradigma yang berbeda-beda di benak rakyat kebanyakan. Karenanya, politik di negara kita ini masih jauh dari kedewasaan berpolitik sesunguhnya.

Kedewasaan Berpolitik adalah sikap insan politik yang menceminkan pola pikir, berucap dan bertindak sesuai dengan apa yang diamanahkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Namun, realita yang ada ialah budaya saling ‘ejek’ atau ‘menjatuhkan’ pesaing yang identik dengan kompetisi tidak sehat (tidak etis).

Apakah budaya politik itu?
Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara; penyelenggaraan administrasi negera; politik pemerintah; hukum; adat-istiadat dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat diartikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik. Secara umum, budaya politik terbagi atas: budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, dan pasif),  budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi), budaya politik partisipatif (aktif).

Budaya Politik sangat dipengaruhi oleh etika dan adat-istiadat pada suatu negara dan wilayah contohnya:
Pertama, masyarakat Jawa dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat hirakis. Strafikasi sosial yang hirakis ini tampak dari adanya pemilihan tegas antara penguasa (wong gedhe) dengan rakyat kebanyakan (wong cilik). Masing-masing terpisah melalui tatanan hirakis yang sangat ketat. Alam pikiran dan tatacara sopan santun diekspresikan sedemikan rupa sesuai dengan asal-usul kelas masing-masing. Penguasa dapat mengguanakan bahasa ‘kasar’ kepada masyarakat kebanyakan. Sebaliknya, rakyat harus mengekspersikan diri kepada penguasa dengan bahasa ‘halus’. Dalam kehidupan berpolitik, pengaruh sratifikasi sosial semacam ini antara lain tercermin pada penguasa yang hanya memandang dirinya ketimbang kepada rakyatnya.

Kedua, kecenderungan patronage. Pola hubungan patronage merupakan salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia. Pola hubungan ini bersifat individual. Dalam kehidupan berpolitik, tumbuhnya budaya politik semacam ini tampak di kalangan pelaku politik partai. Mereka lebih memilih mencari dukungan dari atas (penguasa politik) daripada menggali dukungan dari rakyat.

Ketiga, kecenderungan neo-patriomonislistik. Kecenderungan dalam kehidupan berpolitik di Indonesia adalah munculnya budaya politik yang bersifat noe-patrimonisalistik, artinya, meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik seperti birokasi, pelaku politik masih memperlihatkan tradisi dan budaya politik yang berkarakter patrimonial.

Etika dalam budaya politik
Etika, menurut etimologi bahasa, kata ‘etika’ berasal dari bahasa Yunani kuno. Ethos dalam bahasa Yunani mempunyai banyak arti: tempat tinggal biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk jamaknya taetha artinya adalah latar bekalang adat kebiasaan.

Filfosof Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap elit politik, yaitu merpati dan ular. Elit politik memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga mempunyai watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Celakanya, yang sering menonjol adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstimitasi watak politisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang”.

Di sisi lain, penerapan etika dalam politik adalah sarana yang diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik, serta antara kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemajuan bangsa dan negara, dengan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongannya.

Etika dan Budaya Politik mutlak diperlukan bagi perkembangan kehidupan politik, dan merupakan prinsip pedoman dasar yang dijadikan sebagai fondasi pembentukan dan perjalanan roda pemerintahan yang dinyatakan dalam konstitusi negara.


Setelah kita ketahui bersama apa sebenarnya apa itu politik. Alangkah baiknya kita generasi muda (khususnya) memperbaiki budaya politik di negara ini sehingga lahirlah kedewasaan politik yang kita damba-dambakan bersama, dan pada akhirnya tidak ada lagi perselisihan atau sampai mengakibatkan jiwa melalayang. Kita mulai dari diri sendiri (pelaku politk).
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kamu Pembaca Ke

Random Post

Galeri foto

Galeri foto

Ikuti media sosial kami