Kamis, 22 April 2021

      Aluna adalah seorang gadis yang periang dan ceria. Membuat orang-orang di sekitarnya ikut tersenyum ketika melihat senyumannya. Akan tetapi, senyuman di bibirnya kini memudar. Bagaimana tidak? Aluna didiagnosa oleh dokter bahwa dirinya mengidap penyakit kanker otak yang ternyata sudah stadium akhir. Aluna tahu umurnya tidak lama lagi. Tetapi masih ada 1 keinginan Aluna yang ingin ia wujudkan.

      "Ma kata dokter aku harus dirawat disini ya?" Aluna bertanya pada mama nya. Mereka sekarang sedang berada di rumah sakit karena Aluna tiba-tiba mimisan dan pingsan. "Iya sayang, kamu istirahat beberapa minggu disini ya. Mama yang akan jaga kamu." Sarah membelai lembut rambut anak kesayangannya dan menatap dengan sendu. Dalam hati ia berjanji, akan menjaga dan merawat anak kesayangannya hingga sembuh dan menuruti apapun yang anaknya inginkan demi kesembuhan nya.

***

      Beberapa hari telah berlalu dan semua berjalan baik-baik saja. Hingga suatu hari Aluna mengutarakan keinginannya pada mamanya. 
      "Ma, Aluna punya satu keinginan."
      "Kamu ingin apa Aluna? Katakan pada mama, biar mama wujudkan," kata Sarah sambil tersenyum lembut ke arah Aluna.
     “Aku ingin Rangga menemaniku di sisa hidupku ma.”

***

      Disisi lain, seorang lelaki bertubuh tinggi dan berambut hitam pekat sedang mengikuti kelas tambahan. Lelaki itu menatap buku-buku dihadapannya dengan serius. Bibirnya komat-kamit menghitung angka yang berada di kepalanya. Ia adalah salah satu murid emas di SMA Rajawali.

      Lelaki itu biasa dipanggil Rangga. Rangga adalah anak yang cerdas ketika di sekolah, anak yang penurut ketika bersama orang tuanya, serta anak yang pandai bersosialisasi. Ia mempunyai genk yang sedikit populer. Guru-guru mengenal Rangga sebagai pribadi yang tidak mudah menyerah.

      Tidak hanya pandai di bidang akademik, Rangga juga pandai di bidang non-akademik. Ia adalah kapten futsal di SMA Rajawali. Kharismanya saat bermain futsal mampu menarik hati banyak orang, termasuk Aluna.

      Saat pertama kali Aluna bertemu Rangga, tepatnya ketika Rangga sedang latihan futsal bersama timnya. Aluna langsung terpikat dengan pesona Rangga. Hembusan angin menyapu wajah Rangga membuat keningnya terpampang jelas. Senyum manisnya membuat Aluna tidak bisa berhenti menatapnya. Hari itu adalah pertama kali Aluna merasakan jatuh cinta.

      Sejak saat itu Aluna mulai mencari tahu tentang Rangga. Mulai dari social medianya, kebiasaannya, hobi, warna kesukaannya, makanan favoritnya, semua hal tentang Rangga telah Aluna cari tahu. Bahkan 1 meter jauhnya Rangga berada, Aluna pasti tahu bahwa dia adalah Rangga.

      Tidak terasa sudah satu jam Rangga mengikuti kelas tambahan. Guru pembimbing menghentikan kegiatan belajar mengajarnya. Kelas yang di isi oleh 8 orang siswa mulai berkurang satu per satu. Hanya tersisa Rangga yang masih berkutik dengan buku-bukunya.

      Sepuluh menit berlalu, Rangga melangkahkan kakinya meninggalkan kelas. Tidak lupa ia untuk mengunci ruang kelasnya. Sudah menjadi tanggung jawab Rangga untuk mengunci ruang kelas yang disediakan khusus untuk kelas tambahan karena Rangga adalah satu-satunya siswa yang pulang paling terakhir.

      Lelaki itu berjalan santai menuruni tangga sambil sesekali bersiul kecil. Sudah tidak ada lagi murid yang tersisa selain Rangga. Bahkan anak basket yang biasanya latihan pun sudah pulang.

      Sesampainya di tempat parkir, Rangga dikejutkan oleh kehadiran seorang wanita paruh baya yang terlihat 3 tahun lebih muda dari usianya. Wanita itu tersenyum manis kepada Rangga.
      “Apa benar kamu Rangga?” tanya wanita itu di balas oleh anggukan Rangga.
      “Iya benar bu, maaf, darimana ibu mengenal saya?” tanya Rangga kaku.

      Bukannya menjawab pertanyaan Rangga, wanita itu malah mengucapkan kata yang membuat Rangga semakin kebingungan.

      “Pantas aja Aluna suka sama Rangga,” gumam wanita itu masih bisa di dengar oleh Rangga. “Maaf?” Wanita itu terkekeh kecil, “Saya Sarah, ibunya Aluna.”

      Dahi Sarah berkerut saat melihat wajah kebingungan Rangga, “Kamu tidak kenal dengan anak saya?”
      “Aluna? Saya sedikit mengenalnya, Bu.”

      Memang benar bahwa Rangga mengenal Aluna semenjak kenaikan kelas. Aluna termasuk murid cerdas di SMA Rajawali. Ia mendapat peringkat ketiga siswa terpandai saat kelas X dan menduduki peringkat kedua di kelas XI. 
      “Kamu sudah makan siang?”

***

      Rangga menatap Sarah dengan kaku. Ia tidak mengerti yang terjadi sampai saat ini. Bahkan Sarah mengajak Rangga makan siang bersamanya.

      Di sela-sela keheningan, Sarah mulai memulai pembicaraannya, “Maaf nak Rangga, kamu pasti bingung kenapa Tante tiba-tiba datang ngajak kamu makan siang.”

      “Sebenarnya tujuan Tante di sini ingin membicarakan tentang anak Tante, Aluna.”
      “Aluna sering menceritakan tentang kamu ke Tante.”
      Uhuk … uhuk …
      Rangga buru-buru meneguk minumannya, “Maaf Tan.”
      “Iya tidak apa-apa Nak, wajar kalau kamu kaget mendengarnya. Sudah 2 tahun anak saya mengagumi kamu, Nak. Sudah 2 tahun juga anak saya mengidap penyakit kanker.” Tangan Rangga yang sedang memotong steak seketika terhenti. Kedua kalinya ia dikejutkan dengan fakta tentang Aluna. Yang Rangga tau, Aluna adalah gadis pendiam yang dipenuhi oleh materi.

      “Dua tahun yang lalu saya tidak tahu bahwa anak saya selalu pergi kemoterapi sendirian. Saya tidak pernah tahu selama 2 tahun anak saya menahan sakit sendirian karena keegoisan saya.” jelas Sarah dengan air mata yang mengalir deras.

      “Penyakit Aluna semakin parah, Nak. Aluna hanya bisa bertahan 1 bulan lagi.” 

      Pikiran Rangga menjadi kacau. Ia merasa iba dengan Sarah sekaligus kebingungan mengapa Sarah menceritakan semua ini dengannya?
      “Tante minta tolong Rangga. Demi kesembuhan Aluna, tolong temani Aluna selama sisa hidupnya.”
      “Maaf, kenapa harus saya?”
      “Karena itu adalah permintaan Aluna. Saya meyakini kesembuhan Aluna kalau kamu menemaninya, Rangga. Hanya sebulan sampai keadaan Aluna semakin membaik.”
      “Maaf, saya tidak bisa.”
      “Saya mohon, Nak. Saya mohon bantu Aluna untuk kesembuhannya. Saya tidak ingin kehilangan anak saya satu-satunya Nak. Tolong bantu saya. Hanya sebulan.”
      “Maaf, saya tidak bisa bantu.”

***

      Matahari bersinar cerah, menggambarkan suasana hati Aluna di pagi hari ini. Gadis itu sedang mengelilingi taman dibantu oleh kursi rodanya. Ia menghampiri seekor kucing kecil yang sedang tertidur di bawah daun lebar sebagai atap.

      “Selamat pagi Mity. Apa kamu tidur nyenyak malam ini?” gumam Aluna sambil mengelus anak kucing itu.

      Mity adalah panggilan yang Aluna buat untuk anak kucing itu. Ia menemukan Mity 2 hari yang lalu saat Mity sedang kebingungan mencari ibunya. Aluna merasa iba dan mulai merawat Mity. Ia membuatkan rumah untuk Mity supaya tidak kehujanan. Sejak saat itu Aluna mulai menganggap Mity sebagai temannya.

      Selang beberapa menit, Sarah datang menghampiri Aluna dengan senyum lebarnya. Disambut pelukan hangat oleh Aluna. Tadi malam Sarah tidak bisa menemani Aluna karena ada pekerjaan penting. Hal itu membuat Aluna merindukan ibunya.
      “Udah sarapan sayang?”
      “Udah dong ma, Aluna kan pengen sembuh.”
      “Pintar anak mama.”
      “Iya dong Ma, Aluna kan memang pintar.”
      Sarah menatap Aluna dengan mata teduhnya, “Ada yang ingin menemuimu.”
      “Siapa Ma?” Sarah mulai menggeser tubuhnya. Menampilkan seorang lelaki dengan hoodie hitam sedang berdiri sambil menatap manis Aluna.

      Aluna menatap lelaki itu dengan tidak percaya. Apa ini mimpi? Jika iya, Aluna tidak ingin dibangunkan dari mimpinya.

      Lelaki itu menghampiri Aluna sambil membawa sebuah keranjang buah di tangannya, “Hai Aluna. Gimana kabarmu?”

      Aluna menatap Rangga tanpa kedip, jantungnya berdegup sangat cepat. Sarah menyenggol lengan Aluna membuat Aluna kembali tersadar dan tersenyum gugup.
      “Alhamdulillah baik.”
      “Rangga bawa sesuatu buat Luna, jangan lupa di makan ya biar kuat!”

       Tidak! Aluna sangat melayang dengan perlakuan Rangga. Apalagi saat Rangga memanggil dirinya dengan sebutan ‘Rangga’. Hal itu terdengar sangat menggemaskan.

      Aluna menerima keranjang buah yang Rangga sodorkan. Ia menatap Sarah yang saat ini sedang menatap anaknya dengan senyuman jahil. Seakan mengerti dengan tatapan anaknya, Sarah bergumam, “Have fun ya, sayangnya mama.”
      “Rangga, tante ada pekerjaan penting. Tolong jaga Aluna ya.”
      “Siap! Tante gak usah khawatir. Rangga pasti jaga Luna.”
      “Sayang, mama pergi dulu ya. Kamu baik-baik sama Rangga. Jangan lupa minum obat ya sayang,” pamit Sarah mencium kening Aluna.
      “Iyaa ma. Luna kan udah gede maa. Mama ga perlu khawatir.”
      “Yaudah. Mama pergi dulu ya. Rangga, tante pergi dulu ya.”
      “Iya, Tante. Hati-hati di jalan.”

      Sesudah Sarah pergi meninggalkan Aluna dan Rangga, keheningan menyelimuti keduanya. Aluna yang tertunduk malu sedangkan Rangga yang bingung harus berkata apa. Hingga akhirnya seorang anak kecil menghampiri Aluna.
      “Alo kaka Una,” sapa anak kecil berkepala botak itu.
      Kedatangan anak itu langsung disambut oleh pelukan hangat Aluna, “Halo Kiki. Kamu ke sini sendirian?”
      “Tadi ada mama. Tapi Kiki minta mama makanan, jadi mama pegi beli makanan buat Kiki.”
      “Kiki belum makan?”
      “Belum ka. Kaka udah makan?”
      “Udah dong, Lain kali Kiki makannya pagi yaa, biar ga sakit perut.” pesan Aluna sambil menarik hidung Kiki gemas.
      “Kaka ini siapa ka?” tanya Kiki menatap Rangga.
      “Ini namanya kak Rangga. Temannya kaka Una.”
      “Aloo kak Langgaa. Kakak ganteng deh.”
      “Halo Kiki. Wah terima kasih. Kiki juga ganteng, gemesin lagi.”
      “Huuaa ka Langga baik baneett bilang Kiki ganteng.”
      Perkenalan Kiki dan Rangga membuat mereka semakin dekat. Bahkan Rangga menganggap Kiki sebagai adiknya. Melihat keadaan Kiki membuat Rangga bersyukur masih diberi kesehatan sampai detik ini.

***

      “Aluna, waktunya buat minum obat.” ujar Rangga menyodorkan beberapa butir obat beserta segelas air putih.
      “Rangga tau?”
      “Tau apa?”
      “Aluna paling ga suka minum obat. Obat itu pahit.”
      “Kamu harus minum obat biar cepet sembuh. Emangnya Luna gak kangen sama temen-temen Luna?”
      “Kangeenn bangeeett.”
      “Nah, sekarang Aluna minum obat. Kalo Aluna mau minum obat, Rangga janji turutin apapun permintaan yang Luna mau.”

      Dengan mata yang berbinar Aluna kembali meyakinkan perkataan Rangga, “Rangga serius mau turutin kemauan Luna?”
      “Iya. Rangga janji. Tapi Luna harus minum obat dulu.”
      “Oke. Luna minum obatnya.”

      Aluna meneguk beberapa butir obat dengan wajah cerianya. Ia memikirkan permintaan yang akan ia utarakan kepada Rangga. Sebuah tempat muncul di pikiran Luna membuat Rangga sedikit keberatan. Namun dengan segala keyakinan Aluna meyakinkan Rangga bahwa ia akan baik-baik saja. Akhirnya Rangga menyetujui permintaan Aluna.

***

      Keesokan harinya. Di bawah matahari yang terik kedua insan sedang bercanda ria. Ditemani oleh sekumpulan anak kecil yang mengelilingi keduanya. 

      Hari ini Rangga mewujudkan keinginan Aluna untuk pergi ke panti asuhan. Awalnya dokter tidak mengizinkan Aluna untuk keluar. Mengingat kondisi Aluna yang belum stabil. Namun Rangga meyakinkan untuk menjaga Aluna. 
      “Kakak, aku mau main Wak-Wak Gung.”
      “Iyaa kakak aku juga mau main.”
      “Ayo kaaak. Ayoo.”

      Anak-anak itu menarik baju Rangga dan Aluna. Meminta keduanya untuk bermain permainan asal Jakarta. Rangga dan Aluna bertatapan lalu tersenyum sambil membentuk posisi.
      “Ayok kita main Wak-Wak Gung!” teriak Aluna semangat.

      Rangga mulai menyatukan tangannya dengan tangan Aluna. Membentuk terowongan yang akan dilalui oleh anak-anak panti. Mereka semua mulai membentuk barisan memanjang seperti ular.

      Permainan di mulai. Anak-anak menyerukan nyanyian sambil berjalan melewati terowongan yang dibuat oleh tangan Rangga dan Aluna. Mereka berdua saling bertatapan sambil tersenyum senang. Dalam hati kecilnya, Aluna sangat senang diberi kesempatan untuk bisa menghabiskan waktunya bersama dengan orang yang sangat ia sukai.

      Tiba pada lagu terakhir. Seorang anak tertangkap oleh Aluna dan Rangga. “Hayoo Lala. Kamu mau pilih siapa? Aku atau Kak Rangga?”

      Lala menatap Rangga dan Aluna secara bergantian. Kebingungan siapa yang harus ia pilih karena keduanya sangat baik. Matanya terhenti pada Aluna. Ia tersenyum sambil memeluk Aluna.
      “Aku pasti pilih Kak Unaa.”
      “Yeeyy!”

      Permainan kembali berlangsung. Hingga sampai Aluna dan Rangga memiliki tim yang lengkap. Perbandingan antara 4 dan 4. Sekarang adalah saatnya memperebutkan dan mempertahankan tim.

      Karena Aluna menggunakan kursi roda, ia menjadi kesulitan untuk bergerak bebas. Rangga menatap Aluna iba. Ia tersenyum manis sambil memegang bahu Aluna.
      “Hey! What’s wrong?”
      “Aku gak bisa bergerak, Ga. Aku gak berguna. Aku lemah.”
      “No! Jangan pernah bilang begitu, Aluna. Kamu lihat anak-anak itu. Kamu itu seperti malaikat di mata mereka.”
      “Iya kak Una. Kaka jangan sediih. Opi sayang sama kakak,” ucap Novi sambil memeluk Aluna. Diikuti oleh anak-anak yang lain. 
      “Kakak sayang kalian.”

      Hari ini, Rangga berhasil membuat Aluna kembali tersenyum lebar. Senyum yang hilang semenjak Aluna didiagnosis mengidap penyakit kanker, kini kembali lagi. Aluna merasa tubuhnya kembali sehat seperti dulu lagi. Semua karena Rangga.

***

      Tidak terasa seminggu berlalu Aluna habiskan waktunya bersama dengan Rangga. Sudah 2 hari Aluna tidak bertemu dengan Rangga. Sarah bilang Rangga sedang sibuk dengan Ujian Sekolahnya. Aluna sangat sedih, seharusnya Aluna menghadiri ujian yang sangat penting. Tapi karena keadaannya, dokter hanya mengizinkan Aluna melakukan ujian di rumah sakit.

      Hari ini adalah hari terakhir Ujian Sekolah. Aluna sangat gugup menunggu kedatangan Pak Yanto. Ia takut akan kesulitan mengerjakan ujiannya.

      Dengan cemas Aluna terus memperhatikan pintu ruang inapnya. Sudah lebih dari dua kali suster keluar-masuk ruang inap Aluna, tapi tak kunjung ia temukan Pak Yanto.

      Beberapa menit berlalu, Aluna sulit untuk membuka matanya karena obat yang ia minum sudah bereaksi. Aluna terus memaksa matanya tetap terbuka, takut-takut Pak Yanto datang. Hingga akhirnya pintu ruang inapnya terbuka.
      “Rangga?”

      Aluna terkejut saat melihat Rangga yang memasuki ruang inapnya disusul oleh Pak Yanto di belakangnya. Rasa senang sekaligus kaget membuat Aluna buru-buru mengubah wajahnya menjadi rileks.
      “Selamat pagi, Aluna.”
      “Selamat pagi, pak. Kok Rangga ke sini pak? Emangnya ga ikut ujian?”

      Bukannya menjawab, Pak Yanto malah menyenggol lengan Rangga, “Tadi ada yang bilang ke saya. Katanya ada yang mau nemenin Aluna ujian.”

      Aluna langsung tersipu malu mendengarnya. Rangga duduk di bangku samping hospital bed Aluna. Melemparkan senyum manis sambil menggumamkan semangat untuk Aluna. Sepertinya hari ini akan menjadi hari bersejarah bagi Aluna.

      Ujian di mulai. Aluna dan Rangga mengerjakan ujiannya dengan serius. Tidak ada pembicaraan di antara keduanya. Bahkan ketika Pak Yanto izin ke kamar kecil. Rangga dan Aluna tetap sibuk menatap kertas ujiannya.

      Setengah jam berlalu, kepala Aluna terasa pusing sekali. Ia meletakkan pensilnya sambil memejamkan matanya sejenak. Hal itu mengundang perhatian Rangga. Rangga menjadi cemas dengan keadaan Aluna.
      “Istirahat dulu, jangan terlalu dipaksain.”

      Mendengar perhatian dari Rangga, Aluna pun tersenyum, “Aku masih kuat kok. Cuma pusing dikit aja, mungkin karena ngantuk.”

      Melihat Aluna yang bersikeras untuk melanjutkan ujiannya, Rangga pun mengalah. Sampai akhirnya setetes darah kental mengalir dari hidung Aluna. Jatuh mengenai kertas ujiannya. Rangga yang menyadarinya langsung bergegas mengambil tisu.

      “Aluna, kamu mimisan!”
      Aluna mulai menengadahkan kepalanya ke atas. Tangan kanannya ia gunakan untuk menampung darahnya yang mengalir deras. Keadaan menjadi semakin panik kala Aluna kehilangan kesadarannya.

      Dengan cepat Rangga pergi mencari dokter. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi pelipisnya. Rangga takut terjadi hal yang tidak diinginkan.
      “Dokter!! Dokter!! Pasien nomor 304 pingsan dok! Tolong teman saya!”

***

      Rangga menatap Aluna dari kejauhan. Dokter sedang memeriksa keadaan Aluna. Doa selalu Rangga panjatkan agar Aluna baik-baik saja.
      “Bagaimana keadaan Aluna dok?”
      “Pasien hanya kelelahan. Saya sudah memberi obat untuk pasien. Sebentar lagi pasien akan sadar.”
      “Terima kasih, dok.”
      Rangga berjalan mendekati Aluna. Dilihatnya wajah pucat Aluna. Setelah kejadian ini, Rangga menjadi takut kehilangan Aluna.
      Digenggamnya tangan mungil Aluna, Rangga berharap semoga Aluna selalu bersamanya.
      “Cepat sembuh Aluna.”

***

      Sudah 2 hari Aluna di rawat di rumah dan hari ini Rangga berjanji akan mengajak Aluna pergi ke Dufan. Senyum di bibir gadis itu tak pernah padam. Ia menatap lelaki di sampingnya yang menggenggam erat tangan kirinya. Aluna sangat bahagia Rangga selalu menemaninya sampai saat ini.

      Selang beberapa waktu mereka sampai di depan pintu masuk menuju Dufan. Aluna berlari-lari seperti anak kecil. Ia sangat senang bisa pergi ke Dufan untuk pertama kalinya. Yang terpenting adalah bersama dengan Rangga.

      “Aluna jangan lari-lari!” teriakan Rangga membuat Aluna semakin berlari kencang. Rangga mengejar Aluna yang sudah berlari jauh meninggalkannya. Ia takut Aluna kelelahan dan pingsan seperti beberapa hari yang lalu.

      “Aluna berhenti!” Aluna tetap tidak ingin berhenti berlari sambil menatap wahanan kesana kemari. Sampai ia terhenti di depan bianglala, Angga menangkap tubuhnya agar tidak lari kemana-mana.
      “Nakal! Tadikan udah janji ga akan cape-cape lagi. Sekarang malah lari-lari!”
      “Aku mau naik itu,” pinta Aluna menunjuk bianglala.
      “Kamu berani?”
      “Siapa takut!”

***

      Aluna dan Rangga menaiki bianglala. Aluna sangat senang, ia terus mengoceh pemandangan yang mereka lihat dari atas. Sedangkan Rangga, lelaki itu takut ketinggian sehingga ia tidak bisa menikmati pemandangannya.

      “Rangga cemen!”
      “Jangan bergerak! Nanti bianglalanya goyang!”
      “Biarin wle! Lihat deh, ada ontang-anting. Aluna mau coba main itu nanti.”
      “Ga boleh! Ga baik buat kesehatan Aluna.”
      “Rangga kan udah janji turutin yang Aluna mau.” ucap Aluna lirih.

      Pada akhirnya Rangga mengalah. Ia menuruti semua hal yang Aluna inginkan. Saat ini mereka sedang menaiki wahana kuda-kudaan. Rangga dan banyak melakukan pose bersama. Tiba-tiba saja keadaan menjadi tegang kala Aluna memulai pembicaraan yang serius.
      “Rangga."
      “Iya?”
      “Kalo nanti umur Aluna pendek. Aluna pengen-“ belum saja Aluna menyelesaikan pembicaraannya langsung di potong oleh Rangga.
      “Ssstt … Aluna gak boleh bilang begitu! Aluna pasti sembuh!”
      “Aluna gak yakin.”
      “Rangga yakin Aluna sembuh.”

***

      Tidak terasa satu jam berlalu. Rangga sedang menunggu Aluna dengan cemas. Tadi Aluna izin untuk ke toilet namun ia tidak kunjung datang.

      Perasaan Rangga mulai tidak enak. Sudah lebih dari 20 menit Aluna berada di toilet. Rangga berjalan kesana kemari seperti setrikaan. Matanya tidak berhenti menatap toilet.
      “Rangga.” 
      Mendengar panggilan itu, Rangga langsung memutarbalikkan tubuhnya. “Kenapa kamu lama?”
      “Maaf. Tadi antrenya panjang. Jadi aku terlambat.
      “Yaudah. Mau kemana kita?”
      “Naik ontang-anting!”
      Rangga berjalan menuju wahana ontang-anting bersama dengan Aluna. Tanpa sadar bahwa ada bekas darah di pakaian Aluna.

      Tiba pada antrean Aluna dan Rangga, mereka berdua langsung menaiki wahana ontang-anting. Petugas memasangkan pengaman di tubuh Aluna dan Rangga.

      Permainan di mulai, Aluna mulai berteriak kegirangan. Aluna merasa dirinya terbang ke langit. Ia sangat menikmati wahana ini.

      Di tengah wahana, tiba-tiba saja kepala Aluna merasa pusing. Darah segar mengalir dari hidungnya. Penglihatannya memburam namun ia masih bisa mendengar samar-samar suara Rangga berteriak minta tolong.

      “BERHENTI!! TOLONG BERHENTI!!!”
      “Aluna tolong sadar! Aluna!”

      Sepanjang berputarnya wahana Rangga berteriak keras. Tidak ada yang bisa menghentikan wahananya. Ia hanya bisa melihat Aluna yang pingsan dengan darah yang mengotori seluruh pakaiannya.

      Air mata Rangga mengalir deras. Ia berdoa agar Aluna baik-baik saja. Tubuhnya melemas kala Rangga melihat Aluna kejang. Rangga tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia terus berteriak minta tolong tanpa ada orang yang menyadarinya.

      “Kepada Rangga. Terima kasih sudah hadir menemani di sisa hidupku. Walau kamu hanya kasihan padaku, tapi aku bersyukur akan hadirnya dirimu di hidupku. Selamat tinggal, Rangga. Semoga kita bertemu di kehidupan lain.”

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kamu Pembaca Ke

Random Post

Galeri foto

Galeri foto

Ikuti media sosial kami