Selasa, 01 Juni 2021

Pagi ini sekolah sangat ramai walau kegiatan belajar mengajar sedang tidak dilaksanakan. Mereka semua seragam mengenakan kaos berwarna putih. Keselarasan. Mereka sangat menjunjung tinggi itu. Kerja bakti seluruh siswa di sekolah asrama itu dilaksanakan dari pagi hingga menjelang sore.

Lima orang siswa dari satu kamar yang sama baru turun kebawah dan mangambil sapu, ember, kain pel, juga kemoceng. Hari ini mereka ditugaskan di tempat yang paling tidak diinginkan oleh kebanyakan siswa. Gudang lama yang berada di belakang gedung aula.

"Udah tau gudang lama gak dipake ya aturan gak usah dibersihin lah" Ujar Yansah sambil menyeret sapunya.

"Sudahlah terima saja," Sahut Akra sambil memeluk ember biru.

"Tapi kan bau debunya itu loh, astaga!" Kesal Yansah

"Lu bisa diem gak?" 

"Iya ini diem." Yansah diam saat Aji menyahut galak

Mereka akhirnya sampai di depan pintu gudang yang terlihat usang. Aji yang memegang kunci gembok pun membukanya. Mendorong pintu besi berkarat itu menyebabkan bunyi ngilu.  Satu per satu mereka masuk ruangan pengap dan gelap itu.

"Hm, gak seburuk yang gue bayangin." Ujar Aji

Zena melihat saklar lampu di dekat pintu dan menekannya. "Nyala ternyata,"

"Pintunya buka aja biar hawanya gak terlalu pengap, Yo." Ujar Yansah pada Tio yang ingin menutup pintu.

"Ayo kerjain biar cepet selesai cepet juga istirahat nya!" Aji menyemangati.

Mereka mulai membereskan gudang itu dari menyapu, membersihkan debu pada rak juga jendela, dan mengepel.

Matahari mulai berada pada puncaknya. Delapan orang itu menghentikan pekerjaan mereka untuk sementara dan pergi ke kantin mengisi perut yang sudah berbunyi.

Mengantri mengambil makanan dan memilih meja yang kosong untuk di tempati. Kaos yang tadinya berwarna putih sekarang sudah kotor. Untung mereka hanya memakai celana  olahraga sekolah.

Setelah kenyang mereka kembali ke gudang dan membersihkannya. Tepat pukul dua siang gudang yang mereka bereskan sudah rapih. Masih ada satu jam lagi sebelum kerjabakti ini usai.

"Mau di sini aja atau ke depan?" Tanya Aji sambil menaruh kain pel di ember.

"Di sini aja deh, kalo ke depan nanti kita disuruh beresin yang lain lagi" Ujar Arka

"Nah, iya bener tuh. Mending di sini aja rebahan" Yansah membenarkan dan tiduran di lantai.

"Iya di sini dulu deh," Zena ikut merebahkan dirinya di lantai.

"Oke,"

Mereka akhirnya duduk di sana sambil memainkan kumbang yang tadi ditangkap oleh Aji. Setengah jam pun berlalu dan beberapa dari mereka sudah terlelap.

"BOSEEN WOY!" Arka yang tidak bisa tidur berteriak

"SIALAN!" Aji mengumpat saat kepalanya tidak sengaja tertendang Yansah yang tersentak bangun. Kepalanya terbentur rak dibelakangnya.

Bruk!

"Aduh muka gue!" Zena terbangun saat wajahnya tertimpa kotak.

Mereka tertawa melihat Zena yang mengusap wajahnya merah. Sesakit itu 'kah?

Aji memungut kotak itu ingin mengembalikannya ke tempat semula, tapi tutupnya terbuka dan kepingan puzzle berserakan.

"Yah, berantakan." Ujar Tio "Eh, puzzle?" Tio melihat Yansah lalu menaik-turunkan alisnya.

"Susun aja, yok!" Ajak Tio

"Ayok!" Yansah memungut satu  keping dan tutup kotaknya--melihat gambar yang tertera, "Tapi gambarnya dah ilang, gmn dong?"

"Susun aja lah," 

Mereka mulai menyusun satu persatu. Setengah jam berlalu mereka hampir selesai tinggal satu keping lagi. Aji menaruh keping terkahir dan jelas lah sudah gambar yang ada. Seorang anak kecil dengan jaket coklat sedang tertunduk dan memeluk kotak puzzle.

"Dah selesai. Ayok balik ke kamar dah." Ajak Zena

"Masukin ke kotaknya lagi itu," Arka menunjuk puzzel dengan bibirnya.

"Oke," Tio membuka kotak dan ingin membereskannya, saat tangannya ingin menyentuk puzzel terhenti. "Tadi gambarnya sedikit bergerak atau gue yang mulai rabun?" Ujarnya dalam hati. Mengangkat bahunya acuh dan melepaskan satu keping.

"EH BENERAN GERAK!" Tio berteriak sampai terduduk di lantai. Yang lain menolah dan ikut melihat puzzel.

"Apa maksud lu--" 

Mereka membeku melihat kepala anak kecil itu perlahan terangkat, menatap mereka dengan senyuman. Bibirnya mulai bergerak perlahan, suaranya menggema dalam ruangan

"Kakak, ayo kita main!"

Setelahnya puzzle itu meledak, kepingannya terpental berserakan. Menyisakan mereka yang kebingungan.

****

Lima orang itu masih memikirkan apa yang terjadi kemarin. Gambar bergerak? Puzzle meledak? Apa maksudnya? Di sinilah mereka berada di gudang lagi.

"Gue masih gak ngerti." Ujar Aji

"Lu aja gak ngerti apa lagi kita?!" Ujar Yansah sedikit ngegas.

"Hmm, mana dah kotaknya?" Tio Bertanya

Zena mengambil kotak puzzle yang tergeletak di lantai karena kemarin mereka serentak kabur dari sana. Memberikan pada Tio. 

"Liat deh," Arka menunjuk tutup kotak puzzle itu dan membaliknya dan membaca tulisan yang ada, "Peraturan Permainan:
1. Kumpulkan semua kepingan puzzle dalam waktu tiga hari
2. Susun kembali semua puzzle itu
3. Jangan tertangkap
4. Jika gagal kamu akan berteman dengan kegelapan"

"Apa maksudnya?" Yansah bertanya, tapi tidak ada yg menjawab.

Hening menyelimuti mereka, hanya ada suara daun yang bergesekan dari luar. Bel masuk berbunyi membuat mereka tersentak.

"Masukin puzzlenya ke kotak terus bawa ke kamar cepet!" Perintah Aji.

***

Malamnya mereka berkumpul di kamar. Sepuluh keping hilang. Mereka sudah menyusunnya dan itu berada di pojok kiri bawah puzzle.

"Jadi kita harus nyari sepuluh yang hilang?" Tanya Arka pada yang lain.

"Iyaa?" Jawab Aji Ragu.

"Kenapa kita harus repot-repot nyari?" Tanya Yansah malas sambil, "mending rebahan." 

Tio yang duduk di kasurnya sambil memeluk bantal bergerak tidak nyaman, "Itu--" mereka mengalihkan atensi pada Tio

"Kenapa?" Tanya Zena

"Itu-- eh gak jadi deh,"

"Gue lempar lu ya?!" Kesal Aji sambil mengangkat tinggi buku paket yang diambil dari meja.

"Jangan dong!" Tio melihat kanan kiri dan luar jendela, lalu loncat dari kasurnya duduk di samping Zena, "Itu-- lu tau kakak-kakak kelas yang hilang tiba-tiba?" Tanyanya berbisik yang lain mengangguk. Menelan ludah sekali, "sebelumnya, gue gak sengaja denger mereka ngobrol--ah, enggak. Mungkin berdebat gitu di toilet tentang puzzle. Apa mungkin itu alasan mereka hilang? Apa puzzlenya itu sama dengan yang kita temuin?"

***

Akhirnya mereka sepakat mencari kepingan puzzle itu sebelum tiga--tidak, dua hari lagi. Dimulai dimana mereka menemukan puzzle itu.

Hari kedua berbekal kunci gudang yang dicuri Yansah dan Zena mereka mencari di gudang. Dari mulai rak yang tersusun sampai kolong lemari.

"Ada tuh di ujung," ujar Tio menempelkan pipinya ke lantai--mengintip ke kolong lemari. "Pakai tangan gak bakal muat"

Arka mengambil penggaris kayu yang ada di sana lalu berusaha mengeluarkannya dari kolong lemari. "Dapet satu," memberikannya pada Aji. Setelahnya mereka mencari lagi di gudang menghabiskan waktu istirahat pertama mereka.

Istirahat kedua saat makan siang mereka duduk di meja paling ujung. 

"Kita berlima nyari dua puluh menit tapi cuma ketemu tiga?" Ujar Arka sambil menunjuk tiga keping puzzle yang ada di depannya.

"Yaa mau gimana lagi? Gak ada petunjuk juga." Ujar Zena 

"Petunjuk mah ada, tapi gue gak ngerti," Aji menghela nafas dan membalikkan salah satu kepingan puzzle itu. Terdapat angka 10-1-3. "Ini nunjukin kita ke keping puzzle berikutnya."

Sepulang sekolah mereka memutuskan akan mencari lagi setelah beristirahat sebentar di kamar. Mereka melewati lorong kelas X untuk sampai di gedung asrama.

"Aduh, maaf, Kak." Zena tertabrak siswa karena berlari dari kejaran temannya di belakang.

"Iya gak apa," Berdiri dengan uluran tangan Yansah dan menepuk celananya sedikit. Siswa itu kembali berlari setelah meminta maaf sekali lagi.

"Kaya anak TK aja," gerutu Tio sambil mendongak. Matanya melotot melihat papan yang digantung di depan pintu. Refleks menabok kepala Arka yang berdiri di depannya.

"Kenapa woy?!"

Tio menunjuk ke papan itu. Arka yang loading sesaat mengerti. "Angka itu maksudnya ini bukan sih?" Yang lain ikut melihat kemana arah mata dua orang itu.

Berlari rusuh untuk ke gudang belakang dan di sini lah mereka terengah di depan pintu besi itu melihat ke atas--papan kecil di atas pintu. 

"Ketutupan debu. Ada yang punya kain? Sapu tangan gitu?" Tanya Aji yang diberikan dasi oleh Zena.

"Udh lama pake ini aja!"

Mengambil bangku bekas yang ada di sana lalu naik dan mengusap debu Untuk melihat angka di balik papan bertulis gudang itu.

"10-1-3,"

Setelahnya Aji kembali turun. "Jadi, selanjutnya apa?" Tanyanya.

"Emm, balik ke kamar dulu aja deh sambil nyusun tiga keping ini," ujar Arka.

Mereka setuju dan melangkah meninggalkan gudang. Tio yang paling terakhir melihat ke sekeliling sebelum pergi. Matanya menangkap sesuatu di bingkai jendela dan pergi mengambilnya.

"Woy, ada nih satu lagi!" Sedikit berlari karena sudah tertinggal.

Yansah mengambilnya dan membalikan keping puzzle itu, "7-2-3"

Mereka kembali ke kamar untuk mengistirahatkan tubuh juga otak. "Iya kita tau 10-1-3 itu gudang, tapi kita gak tau maksud dari angka itu apa?" Yansah tengkurap di lantai melihat teman-temannya yang mengerubuni puzzle itu sehabis melengkapi empat keping yang mereka temukan.

Zena yang dari tadi hanya diam menggebrak meja membuat yang lain kaget. "Maksudnya itu ruangan bukan sih? Pertama angka 10, gudang itu kan nomor 10 di peta denah sekolah. Terus 1 itu lantai? Gudang ada di lantai satu. Nah, 3 itu gedung?" Ujarnya sambil menunjuk ke tembok di mana tertempel denah sekolah.

Tio mendekat untuk melihat lebih jelas. "Jadi 7-2-3 itu maksudnya lab yang lantai dua yang ada di gedung 3?!" Ujarnya lalu berlari keluar yang diikuti temannya yang lain dengan Zena yang menyeret Yansah dari lantai.

Mereka berlima berlari rusuh tidak memperdulikan orang yang melihat aneh. Hingga sampai lah mereka pada tempat yang dituju. Ada dua lab di sana. Zena, Tio, dan Aji mencari di lab1. Sedangkan Arka dan Yansah lab2.

"Mana mana mana mana?!" Tio mencari rusuh hingga berantakan.

"Carinya pelan-pelan, Yo!" Ujar Zena melihat temannya itu mencari seperti kesetanan.

"Pelan pelan lo bilang? Gue gak mau ilang ya, Zen. Mereka juga belum ketemu. Belum tentu mereka masih hidup juga kan??"

"Lo jangan ngomong gitu dong, Yo!" Aji sedikit mendorong Tio, "jangan bikin panik!"

"Lo liat kan di tutup kotak puzzlenya?! Kita cuma punya waktu tiga hari dan besok itu hari terakhir, Ji!"

"Woy, udah! Kenapa malah jadi berantem sih?!" Zena melerai agar dia teman nya itu yang menatap tajam tidak berakhir memukul.

"Kita dapet satu nih!" Yansah berteriak dari ambang pintu. Mereka menghampiri dan melihat di balik keping puzzle itu.

"5-6-8-9-0?" Yansah membacanya.

"Hei! Kalian kenapa masih di sini?!" Tegur guru jaga dari ujung lorong. "Anak kelas berapa kalian?!" Mereka serentak berlari dari guru itu. Sudah cukup masalah yang mereka dapat.

***

"Gimana ini susunan angkanya sepertinya berubah? Kalau sama harusnya tidak ada yang melebihi angka tiga di digit terakhir. Besok waktunya habis tepat tiga hari yaitu jam dua siang." Ujar Arka.

"Apa cuma nomor ruangan?" Ujar Zena berdiri di depan tembok tertempel denah sekolah. "5 itu kelas, 6 itu UKS, 8 itu WC, 9 aula, dan 0--" mengedipkan matanya beberapa kali, kembali mencari ruangan apa yang nomornya 0. "Tidak ada,"

Tio berjalan lalu berdiri di samping Zena. Sedikit mendongak karena perbedaan tinggi badan. "Apa maksudnya gak ada heh!"

Siswa dengan rambut sedikit ikal menghela napas, "Sebaiknya kita istirahat dulu. Besok secepatnya kita cari." Aji menendang pelan Yansah agar kembali ke kasurnya sendiri. Siswa dengan kaos bertuliskan Stop Procrastinating! Itu berguling kembali ke kasurnya. Mereka mulai merebahkan tubuh dan beristirahat. Mengenyahkan bayangan terburuk yang mungkin terjadi esok hari.

***

Bunyi jarum jam memecah keheningan. Di dalam kegelapan dia terjaga, mimpi buruk melihat teman-temannya tergeletak di dekat pagar membuatnya tidak bisa tidur kembali. Entah sudah berapa lama.

"Itu cuma mimpi buruk, Ar!" Yakinnya pada diri sendiri. Mencoba kembali tertidur tapi percuma. Akhirnya dia bangun dan mengecek jam yang tergantung. Turun dari ranjang tingkatnya untuk melihat lebih jelas, harusnya dia menuruti ibunya agar memakai kacamata. Tertegun melihat jarum pendek sudah hampir menyentuh angka delapan. Dia berlari ke jendela dan menyibaknya. "Kenapa masih gelap?"

Bell sekolah berbunyi nyaring mengisi kesunyian membuat mereka semua bangun. 

"Lo dah bangun, Ar?" Tanya Aji setengah sadar. 

Arka diam tidak menjawab dan masih melihat ke tengah lapangan. Tubuh kecil itu terlihat mencolok karena tangannya memegang pengeras suara. Aji yang penasaran pun bangun dan menghampiri, " Woy, Itu kan!"

Yang lain juga ikut melihat ke luar lapangan. Bell sekolah berhenti, keheningan kembali menyelimuti. Yang di tatap membuka tudungnya memperlihatkan rambut yang terkepang dua. Tersenyum senang dan mengangkat pengeras suara.

"Kakak, ayo bangun!" Suara riangnya bergema. Dia tertawa membuat merinding karena gigi taringnya yang terlihat, lalu berhenti. "Ayo kita main!"

"Tapi, aku lapar. Belum sarapan." Bibirnya mengerucut, "Aku mau ke kantin dulu deh baru kita main. Oke bye!"

Dia berjalan ke pinggir lapangan dan berhenti, "Oh, iyaa. Namaku Vinly!" Setelahnya pergi hingga mereka tidak bisa melihat tubuh kecil itu lagi.

Mereka yang melihat dari jendela membeku. Tidak mungkin itu anak kecil yang ada di puzzle kan? Tidak mungkin gambar bisa hidup dan menjadi nyata kan?

"Gak mungkin!" Yansah menghampiri puzzle itu. Melihat potret anak kecil yang menghilang dari puzzle. "Gak mungkin kan?!"

Tio juga menghampiri dan menghitung jumlah yang belum lengkap. Semuanya tinggal lima lagi. Dan waktu tinggal sekitar enam jam.

"Ini gak nyata kan?! Mustahil!" Tanya Tio putus asa.

"Dari awal kita terlibat juga ini mustahil." Ujar Aji. "Kita harus temuin sisanya sebelum waktu habis."

"Jadi kita harus cari di kelas, UKS, WC, sama aula." Arka menjelaskan, "karena kelas sama WC ada banyak jadi dua orang sisanya UKS dan aula." Arka menelan ludah. "Dan buat angka 0, itu terakhir aja."

"Gue sama Tio bakal cari ke kelas," Ujar Arka yang diangguki Tio

"Gue bakal cari UKS sama aula. Gue bakal ke UKS dulu soalnya cuma ada dua, di gedung 2 sama 3 asrama ini. Nanti sisanya bantu gue cari di aula kalo udah ketemu, ya." Ujar Zena.

"Lo gak pa-pa sendiri, Zen?" Ujar Yansah tidak yakin.

"Tenang aja."

Mereka mencuci muka dan mengganti baju lalu ke luar kamar. Sedikit berlari di lorong sepi. Aneh, seharusnya sudah banyak siswa yang berlalu lalang mengingat jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat yang berarti kelas sudah di mulai. Yang aneh juga adalah langit yang harusnya sudah terang sekarang masih gelap.

"Kemana yang lain?"

Sampai di kelas juga sama, tidak ada orang lain. Mereka membaca tulisan yang berada di papan tulis.

"Kakak, ayo kita saja yang main." Tio membaca tulisan itu.

"Kakak-kakak, dia kira gue ini kakaknya apa?!" Yansah sewot.

"Kayaknya kita harus mulai cari dari sekarang." Ujar Aji

Mereka mulai berpencar. Tersisa Arka dan Tio yang memang mencari di kelas. Mereka mulai mencari dari lantai ini dan dua lantai lagi.

"Kita pasti bisa kan, Ar?" Tanya Tio putus asa.

"Iya. Kita pasti bisa. Percaya sama yang lain juga,"

Yansah dan Aji mulai mencari di setiap kelas yang berada di lantai itu juga dia lantai di atasnya. Hari ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan.

"Mana? Mana? Mana? Mana?!" Yansah mencari rusuh menendang satu persatu pintu toilet yang ada.

Aji juga mencari di wastafel dan area lainnya. Berpindah pada toilet di lantai lain begitu seterusnya.

Zena yang berlari sendiri pergi ke UKS yang berada di gedung 2. Dia melewati kantin dan melihat Vinly yang sedang makan semangkuk bubur melambaikan tangannya.

"Hei, kakak!" Sapa Vinly, "Kalian sudah mulai? Bubur Vinly masih banyak, kata Mama gak baik nyisain makanan. Vinly makan sampai habis dulu ya!" Mata anak itu berubah merah.

"Setan kecil!" Zena rahangnya mengeras. Tapi dia tidak bisa memukul anak kecil kan?

"Kakak tau? Kepala Vinly sakit, nanti Vinly minta obat sakit kepala ya?" Anak itu tersenyum manis. Matanya kembali berubah hitam.

Dia kembali berlari. Mengumpat karena jarak yang masih terasa jauh. Saat sampai dia langsung mencari. Membuat ruangan berbau obat itu berantakan.

"Di mana dia menyembunyikannya?!" Sedikit kesal karena sudah satu jam dia di sana tidak menemukan apa-apa.

"UKS asrama!" Dia keluar dari ruangan itu dan kembali berlari menuju UKS yang berada di gedung khusus asrama untuk mereka tinggal.

Masuk ke gedung yang sunyi itu. Berlari menaiki tangga untuk sampai di lantai dua. Berbelok ke kiri karena UKS berada di ujung lorong itu. Sampai di depan pintu tidak lagi menggunakan tangannya untuk membuka.

Setelah pintu dia tendang, Zena masuk kembali membuat ruangan itu berantakan. Sesekali melihat jam untuk memastikan. Zena melihat keping puzzle terhimpit oleh sebuah kotak di atas lemari. Sedikit berjinjit untuk menjangkau. Menarik keping puzzle itu dan berhasil.

"Kakak~~" Suara itu kembali menggema. "Kalian mengumpulkan kepingan itu dengan baik ya?" Bisa Zena rasakan bahwa anak itu berada di lorong yang sama dengannya.

"Tapi kalian lupa hal penting," Terdengar suara pintu yang dibuka. "Keping itu tidak akan disebut puzzle lengkap kalau tidak di susun kan?"

Zena membulatkan matanya. Mereka meninggalkan puzzle yang telah tersusun di kamar. Dia berada di gedung asrama kan? Tinggal kembali ke kamar dan membawanya.

Zena kembali berlari untuk mengambil puzzle itu. Melihat punggung kecil itu berada di ujung lorong satunya. Kembali berlari menaiki tangga. Mendorong pintu membuat debaman keras. Beruntung semalam Yansah menempelkan keping-keping puzzle dengan lem. "Biar klo kesenggol Tio gak usah nyusun ulang lagi, mager tau gak?" Ujarnya.

Zena langsung mengambil itu. Matanya melirik jam yang tertempel di dinding. Pukul sepuluh.

Zena semakin panik saat membuka pintu dia dikejutkan dengan Vinly yang sudah berada di depan pintu. Tersenyum padanya. Merasa terancam karena manik merah itu menatapnya. Bibir yang tadi tersenyum kini mengerucut, "Mana obat Vinly, kakak? Vinly sakit kepala."

Merasa aura yang dikeluarkan anak itu menakutkan, Zena berjalan perlahan mundur. Vinly semakin mendekat. Hingga tidak ada ruang lagi untuk, Zena.

Vinly menggapai tangan yang lebih besar, "Kakak tertangkap!" Senyumnya semakin lebar membuat siapa saja ketakutan.


****

"Hei kalian dengar aku?" Suara Zena terdengar dari pengeras suara. "Kita mungkin akan terpisah, jadi ayo bertemu di depan gerbang. Aku membawa puzzlenya untuk di satukan. Maaf aku hanya menemukan satu dan tidak sempat mencari ke Aula." 

Yansah yang sedang memeriksa lubang ventilasi terdiam. Melihat Aji yang dia duduki pundaknya. "Apa maksudnya?"

"Kalian dengar? Satukan puzzlenya di depan gerbang oke?" Kali ini suara riang anak kecil terdengar.

"Zena, tertangkap?" Beo Aji. "Apa dia baik-baik saja?"

Yansah menggerakkan kakinya menendang Aji pelan. "Turunkan aku, bodoh!"

Aji menurunkan Yansah. "Di sini gak ada. Ayo cari ke tempat lain!" Aji berlari lebih dulu meninggalkan Yansah yang sedang mengikat tali sepatunya.

"Woy tunggu!"

Di sisi lain, Arka dan Tio juga masih belum menemukan apapun. Menghemat energi dengan berjalan menuju kelas selanjutnya. Kelas terakhir.

"Apa maksud Zena tadi, Ar?" 

"Gue juga gak tau, Yo." Arka membuka pintu kelas dan menyalakan lampu. "Tapi kayaknya kita jangan sampe kepisah." Setelahnya Arka tersenyum menenangkan temannya itu. Tio itu gampang sekali panik, jadi lebih baik dia bersamanya. Tio mengangguk dan mereka mulai mencari lagi.

Arka memeriksa kolong meja satu persatu. Tio membuka lemari dan mengeluarkan semua isinya. Tidak ada. Dia beralih ke lemari selanjutnya. Sedikit heran dengan rambut terkepang yang menjuntai dari bawah tumpukkan kertas. Melihat sesuatu yang sedari tadi dia cari. Sangking senangnya hampir menangis.

"Ar, gue ketemu satu nih!" Arka yang mendengarnya mengalihkan pandangannya dari kolong meja. Melihat Tio yang tersenyum menunjuk ke dalam lemari.

Arka bangkit dari jongkoknya namun tangannya menjauhkan  sebuah buku tulis dengan keadaan terbuka. Tulisan tidak rapih dengan spidol terlihat. Arka membacanya, "Kamu terlalu banyak membawa beban!"

Tidak dihiraukannya dan kembali menatap depan. Tertegun melihat tidak ada Tio di depan sana. Dia sendirian. Angin berhembus lewat jendela yang entah sejak kapan terbuka. Buku itu tertiup angin dan membuka jalan baru.

"Kak Tio tertangkap" Itulah tulisannya.


Aji mengumpat karena dia terlalu senang hingga terpisah dengan mahluk malas itu. Tadi dia kembali ke WC dimana dia meninggalkannya tapi sudah tidak ada. Mencoba berpikir positif Yansah sudah berada di WC selanjutnya. 

Aji bergegas menuju ke sana. Itu WC terakhir yang belum mereka periksa. Sedikit terkejut melihat sosok kecil kesusahan menuruni tangga. Menatapnya polos dan berkedip. "Kakak tau toilet di mana? Vinly tadi kebanyakan minum air."

Wajah Aji mendingin. 

"Kakak wajah kakak seram!" Vinly sedikit mundur takut dan mengatupkan tangannya di depan dada.

"Berhenti manggil gue kakak. Gue gak suka anak kecil!" Selanjutnya dia berlari kembali.

"Jahatnya~~"




***



Arka bingung kemana Tio. Tertangkap? Apa maksudnya? Pertanyaan terus berkeliling di kepalanya

"Tertangkap?" Beo Arka sambil berjalan entah ke mana. "Jangan sampai tertangkap. Jika gagal kamu akan berteman dengan kegelapan." Arka mengingat peraturan permainannya.

"Jadi Tio dan Zena sudah tertangkap?! Gagal yang dimaksud itu gak bisa nyelesain puzzle tepat waktu? Kalau puzzlenya selesai tepat waktu berarti kita menang? Dan--" napasnya tersengal kepalanya pusing. "Dan mereka yang tertangkap mungkin akan bebas?"

"Benar sekali! Wah kakak pintar ternyata. Tidak bodoh seperti kakak galak tadi." Vinly muncul di depannya. Duduk bersila sambil mengutak-atik sesuatu di tangan.

"Sejak kapan kau di sana?"

Kepalanya mendongak membuat kepangnya terayun. "Belum lama," kembali sibuk dengan benda itu. "Karena kakak minta akan aku beri satu petunjuk untuk tempat terakhir. 0 berarti kosong, kosong berarti tidak ada apa-apa, sebelum ada sesuatu. Yaitu tempat dimana semuanya dimulai." Vinly bertepuk tangan sekali. "Ah, bukannya seharusnya kakak bergegas? Sekarang sudah hampir jam dua belas loh!" 

Arka kembali bergeas mencari temannya yang lain. Melihat ke luar yang anehnya masih gelap seperti malam. Matanya menangkap sosok yang berjalan menyeret kakinya sambil menggerutu.

"Yansah!"

Yang di panggil menengok dan menunggu temannya menghampiri. 

"Kok sendiri? Aji mana?" Arka bertanya yang dijawab gelengan oleh Yansah.

"Kenapa begini sih?!" Teriak Arka putus asa terduduk di lantai.

Yansah berkedip ikut duduk meluruskan kakinya. Jarang sekali Arka berputus asa. Menepuk bahu temannya itu membuat menoleh. Yansah menyodorkan roti, "Makan dulu. Biar bisa mikir lagi." Ujarnya lalu membuka bungkus rotinya sendiri. Tadi Yansah lewat kantin dan membeli roti. Tidak ada orang di kantin, tapi dia jujur kok dengan menaruh uang di meja.

"Kayaknya tinggal kita berdua, Ar." Yansah mengunyah roti isi coklat itu. "Dan tempat yang belum dicari itu aula sama tempat angka 0"

Mereka kembali diam. Melanjutkan makan tanpa minum. Seret memang, tadi Yansah lupa tidak membeli air.

"Lo gak takut, Yan?" Yansah menoleh. "Ini gak masuk akal tau gak? Lo gak takut kita juga ilang--gak tau apa yang bakal terjadi kalo kita gak nyelesain ini?"

Yansah memasukkan gigitan terakhir roti ke mulutnya. Mengelap tangannya pada seragam Arka. "Lo tau, Ar? Gue lebih takut kalo gue bakal sendirian. Orang tua gue masukin gue ke sekolah asrama itu biar gue gak ngurung diri di kamar." Sedikit merenggangkan otot tangannya dan menyender pada tembok. "Bersosialisasi itu ngerepotin, sesuatu yang ribet. Tapi gue dah terikat sama kalian. Ikatan teman. Gue yang dulu milih sendiri, dan gue yang sekarang takut ditinggal sendiri."

Arka sedikit tidak percaya Yansah--manusia mager bahkan untuk bicara akan mengatakan kalimat sepanjang itu. Arka mengerti apa yang dimaksud Yansah.

"Kaya kata pepatah ya?" Tanya Arka

"Hah? Gue gak kenal pepatah." Yansah yang sudah tengkurap di lantai memandang aneh temannya yang sudah bersiap ingin menabok kepalanya tapi gak jadi.

"Maksud gue kaya yang pernah pepatah bilang, siapa yang menemukan teman dia menemukan harta karun." Yansah hanya mengangguk dan menempelkan pipinya di lantai. Dingin.

Setelah merasa cukup istirahat, mereka memutuskan mencari ke aula bersama. Tempat besar itu sekaligus lapangan indoor. Merasa kecil di tempat yang luas itu mereka berpencar. Suara langkah menggema yang mengiringi mereka.

Arka Mecari sambil memikirkan apa 0 yang dimaksud Vinly. "Tempat semua belum ada sesuatu?" Arka bergumam yang dapat di dengar Yansah karena ruangan besar itu tertutup. Suara kecil saja akan terdengar. "Tempat sebelum semuanya di mulai?" Dia menyadari sesuatu, "GUDANG MAKSUDNYA?!" Tidak sadar berteriak.

Berbaik badan menatap Yansah, Yansah mengangguk dan memberikan jempolnya, "Sana cari di gudang. Gue dah males buat jalan. Kaki gue berubah jadi jelly."

Arka mengangguk dan segera berlari ke gudang. Yansah kembali mencari di semua sudut ruangan. Ada pintu lagi di sana. Yansah menghampiri Malas dan membukanya. Saat di buka banyak bola menggelinding keluar. Dia menghela nafas m berpikir bahwa dia harus membereskannya. Mengambil satu bola dan berjalan masuk ruangan itu, kakinya tidak sengaja menginjak sesuatu yang ternyata keping puzzle. Memungutnya, "Akhirnya ketemu juga."

Duk!
Duk!
Duk!

Suara pantulan bola basket dari belakangnya dan berhenti tepat di kakinya. Yansah berbalik dan berjalan ke luar. Bola yang datang semakin banyak. Sampai di luar terlihat Vinly yang memantulkan bola lalu kehilangan kontrol bola dan menggelinding ke arah Yansah.

"Kakak pemalas, bisa ajari aku bermain basket?" Tanyanya riang sambil mengambil bola dan memeluknya.

Yansah menggeleng dan mengambil bola voli di samping kakinya. "Aku tidak bisa main basket sayangnya adik kecil." Memukul bolanya ke lantai beberapa kali, "Tapi aku bisa servis bola voli. Akan aku tunjukkan kehebatanku!"

Vinly mengangguk semangat. Yansah melempar bolnya tinggi dan memukulnya dengan cukup kencang ke arah Vinly. Vinly yang kepalanya terkena bola terjengkang, matanya berkaca-kaca melihat Yansah.

"Kamu tau? Aku tidak benci anak kecil. Hanya saja aku tidak suka anak nakal. Anak nakal harus di hukum kamu tahu?" Ujar Yansah dan kembali mengarahkan bolanya.

Tidak kena. Anak itu merah ke mana. Yansah tertegun merasa pelukan di kaki. Menunduk melihat ,,, yang mendongak dengan mata merah yang berkaca-kaca. " Vinly bukan anak nakal, Kakak. Vinly cuma mau main! Gak mau sendirian sama kaya kakak! Kakak yang nakal! Anak nakal harus dihukum!" Bibirnya kembali melengkung ke atas. "Sekarang, kakak Vinly tangkap! Hahahaha!"
,



***



Gawat sudah hampir jam dua dan dia masih belum menemukan keping terakhir. Yansah juga tidak datang menyusulnya. Apa yang salah? Apa dia melewatkan sesuatu? 

"Hai kakak! Tinggal satu keping lagi loh. Apa masih bingung? Vinly kasih satu nasihat mama, kalau ingin bebas, jangan pernah terlibat ikatan." Suara anak itu kebali terdengar dari pengeras suara.

"Tempat sebelum semuanya di mulai?" Air mata mulai menyusuri pipi. Entah rasa takut itu datang dari mana. Dia panik. "Gue gak ngerti anak sialan! Kasih tau langsung ada di mana!" Teriaknya putus asa

Wajah teman-teman nya mulai terlintas. Dari mereka yang dijemur dibawah matahari hingga terakhir berlari sambil terbahak menghindar dari guru BK. Juga salam pertama mereka sambil menyebutkan nama.

"Salam pertama? Tempat sebelum semuanya di mulai? Ikatan yang berharga berharga?Mungkinkah?" Arka air matanya. Dan berlari keluar menuju gedung asrama. Terus berlari bahkan beberapa anak tangga dia lewati dengan kaki panjangnya hingga sedikit tersandung.

"Itu dia!" Pintu coklat sudah terlihat. Segera membuka pintu kamar dan mencarinya.

Dia sudah seperti orang gila mencari. Matanya tidak fokus menatap sekitar. Rasanya waktu berhenti. Mendudukkan diri di kasur. Menarik nafas panjang mencoba tenang. Melirik jam masih ada lima menit lagi. Setelah di rasa cukup dia kembali mencari sambil berpikir kemungkinan ada di mana keping itu berada.

"Ikatan berharga," bergumam. Arka melihat foto mereka berlima saling merangkul yang digantung di dinding.  Tinggal tiga menit lagi. Pasrah? 

Arka mengambil bingkai itu. Saat terlepas dari tembok, sesuatu jatuh dari baliknya. Arka memungutnya.

"Ini dia!" Arka menatap jam. Masih ada waktu. 

Dia berlari kesetanan hingga jatuh di tangga. Menghalau rasa sakitnya dan segera berlari menuju gerbang. Cahaya bulan dan angin dingin menyambutnya saat keluar dari gedung. 

Sampai di gerbang Arka terdiam. Melihat teman temannya berdiri saling merangkul. Menatapnya dengan pandangan kosong. Ada ruang  diantara Tio dan Zena. Tempatnya?

Suara anak kecil tertawa dan tepuk tangan mengalihkan perhatiannya. Menoleh ke samping. Vinly yang memegang kotak puzzle dan jam tangan yang dikenali milik Aji mendekat.

"Sayang sekali kakak telat" Vinly memasang wajah murung. "Padahal sedikit lagi." 

Arka pucat melihat jam tangan yang dipegang Vinly. Jarum panjangnya sudah lewat dari angka dua belas. Arka terduduk. Dia gagal?

Menatap teman-temannya yang juga menatapnya dengan menyisakan ruang untuknya seakan menunggu. Menunduk dan terisak kecil. Dia gagal. 

Vinly mendekat dan menepuk punggung Arka kasihan. "Kasihan kalian kalah." Vinly mengambil tangan Arka dan membuka genggamannya lalu mengambil keping terakhir.

Vinly bertepuk tangan dan tertawa menyatukan keping itu dengan yang lain. Tersenyum lebar dan melihat Arka yang juga bergabung dengan yang lain.

"Puzzle aku akhirnya lengkap,"





--- THE END ---
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kamu Pembaca Ke

Random Post

Galeri foto

Galeri foto

Ikuti media sosial kami