Rabu, 02 Februari 2022

Perkenalkan, Namaku Jenath. Aku salah satu siswa yang mungkin bisa dibilang pendiam dan berbeda sifatku dengan lelaki lain pada umumnya. Disini aku akan menceritakan bagaimana kisahku pada masa lalu yang malas dan mungkin orang lain mendengarnya jijik kepadaku, Bahkan jika aku ingat aku pasti merasa jijik juga dengan diriku sendiri.

Hari itu berjalan sebagaimana mestinya. Ada beberapa hal yang membuatku kesal di pagi hari sebelum berangkat sekolah. Bisa-bisanya aku lupa membawa topi di hari Senin yang membuatku harus berdiri dibarisan anak nakal upacara tadi.

"Jen! Jenath, ini kertasnya woy!" 

Aku tersentak dari kekesalanku saat kertas ulangan matematika menyapu wajahku dengan sedikit kencang.

"Makasih," ujarku pelan. Entahlah aku sedikit merasa tidak nyaman pada teman sekelasku itu.

"Sama-sama." Dia kembali menghadap ke depan setelah sekilas mencolek daguku.

Aku menggelengkan kepala menepis prasangka buruk. Mulai fokus pada deretan angka dan kurva di kertas.



Setelah sembilan puluh menit berlalu suara yang ditunggu sebagian murid terdengar. Aku salah satunya karena perut ini sudah berbunyi sedari tadi minta diisi. Aku berdiri ingin mengumpulkan kertas ulangan ku, tapi saat melewati meja Jovandra dia mencekal tanganku.

"Liat sebentar please?" Pintanya memelas.

Aku melihat kertasnya memang tinggal tiga nomor lagi yang belum terisi, lalu aku melihat guru berkacamata itu tertutup murid lain yang sedang mengumpulkan kertas. Jadi kubiarkan saja Jovan melihat kertas ulanganku.

"Jangan lama-lama." 

"Oke, manis." Dia mengedipkan matanya membuatku risih dan memberi jarak lebih.

Setelah aksi mencontek Jovan dengan kecepatan kilat, akhirnya aku dapat mengumpulkan kertas ulanganku. Setelahnya aku membereskan meja dudukku lalu pergi ke kantin bersama yang lain.


"Siapa yang mau pesen?" Ujar salah satu teman.

"Gue aja," aku mengajukan diri karena memang sudah seminggu ini aku belum jadi yang mengantri memesan makanan.

"Oke, gue kaya biasa." Pesan Rendy

"Gue siomay sama Deri juga."

"Gue ikut lu ngantri," ujar Jovan membuatku menatapnya. "Susah nanti bawanya." Aku mengangguk.

Berjalan menuju stand makanan di sana. Sesak, bising dan berebut. Terkadang aku memaki saat kakiku terinjak. 

"IBU SIOMAY TIGAA!" Tidak sadar aku ikut berteriak. Padahal aku ada di baris depan tapi tidak perduli toh suaraku teredam yang lain.

Aku menoleh saat mendengar kekehan, Jovan brengsek ku kira dia mengantri di stand bakso untuk Rendy. 

"Lu mending beli bakso buat Rendy."

"Hah?!" 

"Beli bakso buat Rendy!" Aku berteriak tepat di depannya apa tidak terdengar?

"Nanti aja barengan." Terserah lah.

Aku merasa tidak nyaman karena dapat ku rasakan pundakku menempel pada tubuhnya. Aku bergeser menjauh darinya, tapi dia kembali menarikku agar berada di depannya. Aku menatap galak dia yang sekarang sedang menerima dua piring siomay. Aku mengambil satunya lagi lalu membayar dan bergegas pergi.


Aku menaruh piring siomay itu cepat di meja yang ditempati temanku yang lain, lalu pergi ke stand bakso yang memang sudah sepi sendiri.

"Bang, baksonya satu jangan pake daun bawang." Ujarku sambil menunduk.

"Daun bawang? Sakit lu, Tong, sejak kapan bakso pake daun bawang?" Pria setengah baya dengan topi itu tertawa sambil membuat pesanan ku. 

"Eh?" Aku linglung.

"Maksudnya daun seledri?"

"Iya, daun seledri." Aku cengengesan.

Berterimakasih saat mangkok dengan kuah panas itu berada di tanganku. Berjalan kembali menuju meja tadi, mereka masih mengobrol menunggu bakso ini datang. Tapi kenapa, bangku yang kosong harus di sebelah Jovan?! Sungguh aku tidak nyaman berada di dekatnya!

"Nih baksoknya, Ren." Aku menaruh mangkok itu di depannya, sedikit mendorong bahunya agar bergeser sedikit untukku duduk.

"Makasih. Lu duduk di situ aja kosong sini dah sempit." Tunjuknya ke tempat kosong itu dengan sendok.

Tidak ada pilihan lain aku di sana. Memakan siomay dengan cepat agar bisa menjauh dari Jovan. Sedikit menimpali obrolan yang terbentuk karena ulangan tadi.

Aku menahan napas ku saat merasakan ada yang menyentuk dengkulku. Itu Jovan. Aku biarkan saja mungkin tangannya pegal. Tapi kenapa semakin keatas? sekarang berada di pahaku. Seakan tidak terjadi apa-apa dia tetap mengobrol dengan yang lain. Aku semakin menjauhkan dudukku dan mengangkat kaki ke pahaku--menendang tangannya dari sana.

Makananku selesai aku langsung pergi dari sana. Berjalan cepat sebelum hampir menabrak seseorang saat berbelok. 

"Kamu itu pelan-pelan kalau jalan dong! Untung gak nabrak saya." Refleks pak Jonathan membentukku.

Dengan nafas tersendat aku membungkuk meminta maaf,

"Kenapa kamu pucat? Sakit?" Tanya guru BK itu. Memang wajahku pucat?

"Tidak, Pak."

"Oh, yasudah. Kalau sakit ke UKS ya." Guru itu berlalu masuk ke ruangannya setelah menegur siswa yang baju seragamnya ke luar.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kamu Pembaca Ke

Random Post

Galeri foto

Galeri foto

Ikuti media sosial kami