Jurnalis pelajar smk n 11 jakarta, pinangsia—Pak Rangga, yang notabene guru pengajar
bimbel, juga merasakan gugup dan takut ketika pertama kali mengajar di SMK 11,
“Ada rasa gugup, sedikit takut, semua perasaan ini timbul ketika saya pertama
kali masuk. Semua rasa tadi, bisa saya minimalkan dengan cara berbagi sama-sama
dengan murid. Sehingga, nantinya ada harmonisasi murid dengan saya,” ungkap
cowok kelahiran Solo itu.
Menurut Pak
Rangga, guru adalah dokter yang memberikan obat kepada orang-orang yang sedang
sakit, “Murid diibaratkan orang yang sedang sakit. Kerena mereka haus akan
ilmu. Kerena mereka harus memiliki wawasan untuk melanjutkan hidupnya. Kita
sebagai dokter (guru) harus memberikan mereka faksin-faksin dari obat-obat
tersebut,” bijaknya.
Karena Pak
Rangga adalah ‘orang sibuk’, untuk mempersiapkan materi di kelas, Pak Rangga
merasa berat sekali, “Kendalanya ketika mempersiapkan materi, itu sangat berat
sekali. Saya masih ada tanggungan bimbel, pelatihan fajar, dan (waktu) untuk
diri saya sendiri. Kendalanya sih tidak cukup siginifakan, karena saya sudah
tahu taktik untuk mengajar,” selorohnya ketika ditemui di taman belakang
sekolah.
Metode ajar
Pak Rangga diklaim cukup simple, “Anak didik fun, anak didik mengerti saya,
anak didik mencintai saya, so,
semua itu akan berjalan dengan baik, berjalan dengan apa adanya. Metode saya,
cukup simple. Anak didik mengikuti alur saya, arus meteri saya, setelah
dieveluasi dan anak didik paham. Berarti saya berhasil,” katanya dengan penuh
semangat.
“Untuk SMK 11,” ujar Pak Rangga, “masih harus
dibenahi kembali, bukan dari siswanya saja, juga dari pihak gurunya. Kebanyakan
yang saya pandang di SMK 11, gurunya masih bersifat individualisme. Dia tidak
bisa menilai secara detail bagaimana kemampuan siswanya, dan bagaimana yang
siswa butuhkan,” tutup Pak Rangga Dian Pramana, lengkap namanya.
Tiga kata untuk SMK N 11 Jakarta dari Pak Rangga: BERSAMA, KITA, BISA
Suara wawancara dapat didengar di sini