Rabu, 02 Maret 2022

"APA-APAAN KAMU TADI HAH?!"
Nada bicaraku yang membentak mengejutkan semua orang yang ada di ruangan ini. Semuanya melihat ke arahku, begitu juga Jovan. Ia pun langsung berdiri setelah ku dorong sampai terduduk. Raut wajahnya seolah-olah tidak mengerti apa-apa. Tapi aku sangat yakin, pasti dia ada maksud tersembunyi setelah melakukan itu padaku. 
“Apa maksudmu mendorong ku seperti itu?” Jovan meminta penjelasan padaku. 
“Pertanyaan macam apa itu? Sudah jelas bukan, kamu melakukan itu dengan sengaja!”
“Ada apa sih ini ribut-ribut?” Sahut Sinta tidak mengerti.
"Jovan seperti meraba pinggangku, tidak. Bukan seperti, tapi dia memang melakukannya," kataku pelan tapi tetap dapat terdengar. Aku malu harus mengatakan hal memalukan ini di depan teman-teman terlebih lagi pada orang yang aku sukai. 
"Apa yang kamu katakan jenath? Koreografinya kan memang ada gerakan yang memegang pinggang." Jovan mengelak pernyataanku 
"Tidak. Itu berbeda dari memegang, kamu—" 
"Jenath, sepertinya kamu yang salah paham koreografi nya memang seperti itu. Itu hanya gerakan biasa. Lagipula kalian berdua sama-sama lelaki bukan? Jovan tidak mungkin melakukan macam-macam. Sebaiknya kita segera lanjutkan latihannya karena mentari  semakin rendah." Shinta angkat bicara menghentikan perdebatan ku dan Jovan. 
"Tapi… Baiklah." Aku tidak bisa berkata apapun lagi. Tapi aku yakin itu bukan gerakan biasa atau mungkinkah aku hanya paranoid? 
Setelah keributan kecil itu latihan dilanjutkan, tapi aku tetap merasa tidak nyaman selama berlatih dengan Jovan walau dia tidak melakukan tindakan aneh lagi. Rasanya aku ingin hari ini cepat berakhir agar bisa istirahat. Aku sangat lelah baik secara fisik dan mental. 


Hari hari sekolah berikutnya si manusia aneh itu semakin membuat ku risih. Saat jam pelajaran di kelas ia menatapku lekat-lekat dari ujung kaki hingga rambut dengan mata yang sulit diartikan. Aku tetap mencoba tidak menghiraukan nya dan fokus pada pelajaran tapi Jovan benar benar menatap sepanjang pelajaran berlangsung. Akhirnya bel istirahat berbunyi, aku langsung pergi menuju kantin untuk menghindari tatapan anehnya itu. Tapi ternyata dia mengikutiku.
"Kenapa kamu mengikuti ku?" Tanyaku ketus
"Ini jam istirahat sudah sewajarnya untuk pergi ke kantin bukan?" Elak Jovan.
"Baiklah kamu pergi ke kantin, sana. Aku sudah tidak selera," kataku sambil berbalik arah menuju kelas kembali. Baguslah kalau dia ke kantin, aku bisa sendirian di kelas. Aku juga sedang malas berebut antrian di kantin ramai yang bising. 
Tidak sampai 5 menit Jovan kembali ke kelas katanya antrian panjang dan tidak dapat tempat duduk. Aku hanya menghela nafas mendengarnya, entah itu hanya alasan Jovan atau memang kenyataan. Sekarang aku terjebak berdua di kelas yang sepi bersama Jovan yang kembali menatapku. 
"Berhenti terus menatapku seperti itu Jovan," pintaku sedikit kesal.
"Habisnya kamu itu indah dan manis. Apalagi manik hitam itu, aku menyukainya." Jovan berkata tanpa merasa bersalah seolah itu tindakan yang wajar dilakukan. 
Aku kehabisan kata-kata menghadapinya. Untungnya bel kembali berdering, murid-murid lain mulai memenuhi kelas. Jovan tidak lagi menatapku karena sekarang pelajaran guru killer yang bahkan tidak membiarkan muridnya bergerak sesenti pun. Entah itu merupakan hal yang baik atau buruk bagiku. Selain itu jovan juga mengelus tangan atau pipiku setiap ada kesempatan, walau aku tepis kasar berulang kali ia tetap saja melakukannya membuat ku geram. Itu semua terjadi selama beberapa hari sampai hari ini. Hari yang membuat aku semakin marah. 
Hari ini latihan menari terakhir kami dengan aku yang berusaha positif thinking pada Jovan, tapi tetap tidak bisa. Setelah selesai latihan aku pergi ke toilet meninggalkan Jovan dan Shinta berdua karena yang lain sudah pulang sebelumnya. 
Setelah selesai dengan urusanku ditoilet, aku bergegas kembali ke kelas untuk mengambil tas ku agar segera pulang. Tapi saat didepan pintu kelas, aku mendengar sesuatu yang sama sekali tidak pernah ku harapkan.
“Kamu yakin dengan yang kamu katakan tadi?” Tegas Jovan.
“Yakin banget. Seribu persen yakin, aku suka sama kamu, Jo,” jawab shinta dengan mempertegas nada suaranya untuk meyakinkan Jovan.
Sudah cukup dengan masalah Jovan yang selalu menggangguku setiap hari. Tapi mengapa orang yang ku sukai harus menyukai orang yang tentu bukan diriku sendiri? Mengapa dunia begitu kejam padaku? Apakah aku sangat tidak pantas untuk memiliki Shinta yang hampir dapat dibilang sempurna? Apakah aku seburuk itu?
Air mata membasahi pipiku tanpa permisi. Hatiku hancur, benar-benar hancur. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Karena aku tau, aku bisa bersaing dengan orang yang menyukainya. Namun, aku tidak akan bisa bersaing dengan seseorang yang ada dihatinya itu. 
“Nath? Jenath!” panggilan Jovan yang sedikit keras menyadarkan lamunanku.
“Kamu gapapa?” tanya Jovan lagi. Mereka berdua melihat kearahku. Daripada aku menganggu suasana romantis itu, aku langsung berlari meninggalkan tempat itu dengan mataku yang memerah.
Jovan mengejarku sambil meneriakkan namaku berkali-kali. Aku tetap bersikukuh tidak akan mau menoleh. Diluar dugaan ia malah mencekal tanganku keras.
“Aw sakit! Lepaskan tanganku!” aku menghentakkan tanganku beberapa kali, tapi kekuatan cengkraman Jovan jauh lebih kuat. “Aku tidak suka dengan Shinta, Nath. Percayalah padaku!” tegas Jovan. 
Bukan itu yang ingin ku dengar. Tapi—
BRAKK
Jovan mendorongku ke tembok, menautkan matanya yang tajam itu kearahku. Si lensa berwarna kelabu seolah-olah tidak akan membiarkan siapapun melawan perintahnya dengan menusuk tajam kearah lensa kontak lawannya. 
“Kamu cemburu karena Shinta menyukaiku, hm?” Jovan mulai berbicara dengan nada yang mengitimidasi. 
“Aku lebih cemburu ketika kamu menatap Shinta sampai tidak berkedip, manis.” Jovan berbisik tepat disamping telingaku. Smirk dibibirnya mulai Jovan tunjukan, pertanda bahwa ia tidak akan melepaskan lawannya. Aku benar-benar ketakutan ketika Jovan seperti ini.
“Mau apa kamu hah!” bentakku.
“Sssttt tenanglah, manis. Aku tidak akan menyakitimu, aku hanya ingin bermain denganmu malam ini.” Wajahnya semakin mendekat. 
Aku harus pergi dari sini bagaimanapun caranya!
Aku mendorong Jovan sekuat tenaga untuk mencari celah supaya aku dapat kabur darinya. Namun, percuma saja. Tenaganya sangat kuat ditambah lagi, Jovan mendekapku dipojok ruangan. 
“Kenapa? Kamu mau kabur dariku? Tentu saja tidak akan bisa. Karena kamu terlalu manis untuk bisa kabur dariku, sayang.” 
Ya Tuhan tolong aku…
Bersambung…
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kamu Pembaca Ke

Random Post

Galeri foto

Galeri foto

Ikuti media sosial kami