Rabu, 09 Maret 2022

Setelah mengucapkan kalimat barusan, tangan kanan Jovan yang digunakan untuk mendekapku merogoh salah satu saku di celananya lalu mengeluarkan sapu tangan.

Untuk kedua kalinya aku berusaha kabur dari Jovan. Namun usahaku gagal, karena Jovan berhasil membekap mulutku dengan sapu tangan tadi. Sapu tangan yang terdapat obat bius di dalamnya.

10 menit kemudian...

Perlahan kedua kelopak mataku terbuka. Pandanganku mengedar ke seluruh ruangan. Kulihat beberapa meter di depanku ada Jovan yang memunggungiku. Detik setelahnya aku bergegas mencari semua barang-barangku. Namun hasilnya nihil, nampaknya Jovan yang menyimpan semua barang-barangku.

“Sial!” tanpa sadar aku mengumpat dengan suara yang cukup keras, membuat Jovan menoleh ke belakang.

“Jenath, rupanya kamu sudah bangun,” ujar Jovan sambil melangkahkan kakinya ke arahku.

“J-jangan mendekat!” ujarku ketakutan sembari mundur selangkah demi selangkah.

Sudut bibir kiri Jovan naik, “Kenapa ucapanmu terbata-bata?”

“Berhenti di sana, Jovan!”

Sayangnya ucapanku tak dipedulikan olehnya. Jovan semakin mempercepat langkahnya, membuatku semakin ketakutan sampai aku tak sadar bahwa tubuhku sudah menyentuh dinding. Detik berikutnya tanpa kusadari Jovan sudah berada di hadapanku.

“Kenapa ketakutan gitu, Jenath?” bisik Jovan tepat di depan daun telingaku.

Ekspresi ketakutan yang ditampilkan olehku ternyata malah membuat Jovan tersenyum senang. Kini Jovan membelai lalu menangkup kedua pipiku sembari menatapnya lekat-lekat.

“Jangan macam-macam, Jovan.” Peringatku padanya.

Walaupun begitu Jovan sama sekali tidak gentar dan malah meraba sekitar tubuhku. Aku yang ketakutan tetap berusaha kabur, tetapi karena tenaga Jovan yang lebih besar dariku, dia malah mengangkatku dan membawaku ke kasur yang ada di ruangan, kemudian membantingku ke kasur itu.

“Akhirnya aku dapat memilikimu seutuhnya Jenath”. Ucap Jovan sambil menyeringai dan menahan tubuhku di bawahnya.
 
Sialnya tanganku ditahan dan Jovan mulai meraba tubuhku dari atas sampai ke bawah. Aku berusaha memberontak dengan menggerakkan kakiku brutal. Tapi Jovan yang tidak bergeming dari posisinya tetap melakukan aksinya.

“Lebih baik kau diam dan nikmati sentuhanku Jenath, jujur saja kau pasti menikmatinya bukan,” bisik jovan dan menjilat daun telingaku dan terus meraba tubuhku.
 
Tanpa bisa membalas ucapannya, Jovan tetiba menciumku, YA CIUM! Aku  berusaha melepaskan ciuman itu dengan kuat, tetapi Jovan semakin gencar, aku panik dan langsung menggiggit lidah Jovan dan ternyata berhasil! Jovan pun langsung melepaskan ciumannya karena kesakitan.

Aku pun membrontak agar bisa lepas dari Jovan. Dengan sekuat tenaga aku menendang area intim Jovan, dan berhasil lepas dari cengkraman Jovan.

“UGHH, Sial! Berani-beraninya kau JENATH!!” Memanfaatkan kondisi Jovan yang masih terduduk kesakitan pun, aku mencari ponselku. Saat menemukan benda pipihtersebut, aku segera berlari dengan cepat, ketika melihat Jovan yang mulai bangkit dengan ekspresi marah yang tercetak jelas di wajahnya.

Ketika Jovan menyadari Jenath yang semakin jauh, dia pun segara mengejar Jenath mengabaikan bagian bawahnya yang masih kesakitan.

“KEMBALI KE SINI JENATH!” Aku yang merinding mendengar teriakan penuh amarah Jovan dengan segera menambah kecepatan lariku dan berlari menjauh dari bangunan itu. 

Aku pun terus berlari sambil mencari tempat ramai agar Jovan tidak dapat mengejarku lagi. Meskipun sudah berlari lumayan jauh dari bangunan tersebut, sialnya tidak ada orang sama sekali.

Aku melihat kebelakang dan benar saja Jovan juga sudah mendekat. Apa yang harus kulakukan !?

“KEMBALI JENATH!” teriakan itu kembali terdengar, Aku semakin takut dibuatnya, lari dan lari hanya itulah yang ku pikirkan untuk sekarang ini, hingga aku menemukan tempat yang cocok untuk ku bersembunyi. 

“Ponsel, dimana ponsel ku,” dengan tanggan yang bergemetar, Jenath berhasil menemukan ponselnya di dalam kantong celananya. 

“Aku harus menelpon siapa, polisi, iya polisi.” Ditekannya 110 pada aplikasi telepon yang terdapat di ponselnya hingga detik berikutnya panggilanpun tersambung. 

“Tolong, tolong aku, aku ada di jalan manggis, cepat kemari, kumoo---- 

Layar ponsel menjadi hitam. Ada apa ini? Sial! Kenapa harus mati disaat-saat seperti ini?!

“JENATH DI MANA KAU, AKU TAHU KAU BERSEMBUNYI, KELUAR!” teriakan itu terdengar lagi untuk yang kesekian kalinya. Aku sudah lemas, kakiku seperti mati rasa, tidak kuat lagi untuk berlari. Hanya bersembunyi dan berdoa yang dapat kulakukan sekarang ini, berharap agar polisi cepat datang. 

5 menit aku bertahan dari persembunyian ku, akhirnya aku dapat kembali bernapas lega setelah mendengar sirine polisi. 

“ANGKAT TANGAN!” 

Polisi membawanya pergi, aku dapat melihatnya dari tempat ku bersembunyi.

“SIAL! KENAPA ADA POLIS?!” umpatan itu keluar dari mulutnya. Jovan segera mengangkat tanganya. Polisi dengan segera memborgol tanganya dan menggiringnya untuk masuk ke dalam mobil. 

Kurasa semuanya sudah aman, aku membernaikan diri untuk keluar dari persembunyian ku dan menghampiri para polisi.

“Terimakasih, Pak” Ucap Jenath.

“Sudah tugas kami. Silakan datang ke kantor kami untuk dimintai keterangan.” Ujar salah satu polisi.

“Baik, Pak.” Jawabku.

5 hari setelah kejadian itu, hidupku mulai berangsur-angsur kembali seperti sedia kala. Hingga panggilan masuk mengusik telinga ku.

Ponsel ku jatuh dari genggaman, badan kembali bergemetar saat mendengar kabar bahwa dia kabur. Cemas dan takut kembali muncul. 

“Apa yang harus aku lakukan?”

Akhirnya Jenath memutuskan untuk menggurung dirinya di dalam kamar. 

Dilain tempat, adengan kejar-kejaran sedang berlangsung. 

“BERHENTI!” 

JDERRRRR 

Tubuh orang tersebut terpental, bersamaan dengan berhentinya sebuah mobil. 

Polisi dengan segera membawa orang itu ke rumah sakit. Polisi berjaga di depan ruang orang itu, karena status nya yang masih menjadi narapidana. Tidak lama dokter keluar, dan menjelaskan keadaan pasien yang ternyata mengalami kelumpuhan dikedua kakinya. 

1 jam sudah berlalu orang itu akhirnya pun tersadar. 

“Di mana aku?” Ucap orang itu. 

Tak begitu lama polisi masuk kedalam ruangannya.

“Maaf dengan saudara Jovan, anda akan segera kembali ke ruang tahanan.” 
Benar orang itu tak lain dan tak bukan adalah Jovan. 

“Pak, kedua kaki saya kenapa mati rasa? Kaki saya baik-baik saja kan?” tanya Jovan.

“Maaf kedua kaki anda mengalami kelumpuhan.” 

Tatapan kosong tergambar jelas pada raut wajah Jovan.

“Hahaha .. Bapak becandakan?”

Akan tetapi, kenyataan tidak berpihak padanya. Jovan benar-benar lumpuh. 

“TIDAK!” jeritan tidak terima terdengar jelas pada ruangan itu hingga dokter menyuntikanya obat penenang.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kamu Pembaca Ke

Random Post

Galeri foto

Galeri foto

Ikuti media sosial kami