Sabtu, 02 Juli 2022

Not Me

     Namaku adalah Mentari Raysia Putri dan aku adalah anak tunggal. Aku mempunyai seorang sahabat yang kukenal sejak kecil, ia bernama angkasa dan biasanya kupanggil Aksa. Awalnya hidupku berjalan baik-baik saja, aku selalu mendapatkan nilai yang bagus dan mendapatkan ranking 1 di kelas. Aku juga pernah mengikuti olimpiade atas permintaan orang tuaku dan selalu memenangkannya. Namun, semua itu berakhir karena suatu kejadian di masa SMA ku. Saat itu aku merasa bahwa semua kerja kerasku terbuang sia sia, hingga akhirnya aku merasa diriku terpecah belah menjadi dua bagian yang berbeda.

     Saat itu, aku baru saja menduduki bangku SMA, kebetulan Aksa satu sekolah denganku. Walau pada awalnya ia tidak mau, tetapi kedua orang tuaku membujuknya dan karena ia merasa tidak enak karena sudah mengenalku sejak kecil akhirnya ia pun setuju. Sebenarnya aku sedikit paham kenapa Aksa pada awalnya menolak, ia menolak bukan karena ingin menghindariku atau semacamnya hanya saja sekolahku yang baru ini adalah salah satu SMA ternama di Indonesia. Tentu saja ia pasti merasa khawatir akan nilainya, karena pada dasarnya Aksa bukanlah anak yang cerdas, tetapi ia memiliki sikap yang ramah dan suka menolong. Karena itulah seringkali aku membantu mengajari dia berbagai macam pelajaran yang ia rasa kurang mengerti, anggap saja sebagai balas jasa atas sikapnya.

     Seiring berjalannya waktu guru-guru mulai memperhatikan diriku, terutama Bu Ayu sebagai wali kelasku. Ia melakukan hal ini kurang lebih karena prestasiku yang cukup baik. Selain diriku ada satu murid lainnya yang juga diperlakukan serupa denganku, yaitu Emily Alexandra atau Emily singkatnya. Nilai kami berdua bisa dibilang cukup sebanding dan tentunya aku merasa senang karena aku mempunyai seorang saingan. Dengan begini aku tentunya memiliki motivasi yang cukup tinggi untuk terus belajar dan berkembang. Apalagi kami berdua sama-sama menyukai pelajaran Pak Mancung, yaitu matematika. Karena hal inilah hubunganku dengan Emily semakin dekat, kami sering bertukar ilmu dan terkadang berbincang bersama.

     Suatu hari karena kebetulan Pak Mancung tahu bahwa aku dan Emily suka mempelajari matematika, beliau memberitahu diriku dan Emily mengenai sebuah olimpiade Matematika yang akan diselenggarakan 2 bulan nanti, lebih tepatnya setelah Ujian Akhir Semester pertama. Mendengar hal ini tentunya aku sangat senang, hingga aku pun menceritakan hal ini terhadap orang tuaku karena aku tahu bahwa selama ini mereka sangat menginginkan diriku untuk menjadi juara umum. Namun sesampainya di rumah ekspresi mereka tidak begitu mengenakan, mengingat dahulu waktu SMP aku gagal menjadi juara dalam olimpiade. Oleh karena itu aku akhirnya mulai belajar dengan sangat giat, namun entah mengapa akibat kejadian itu, sekarang orang tuaku menjadi sangat agresif. Mereka selalu pergi ke kamarku setiap hari untuk memeriksa apakah aku belajar dengan sungguh-sungguh atau tidak. Rasanya aku diperlakukan seperti tahanan di penjara, tetapi aku tidak mau terlalu memikirkan hal tersebut dan bagiku perlakuan ini wajar saja sebagai penebusan kesalahanku. Lagipula, mereka juga melakukan hal ini bukan tanpa alasan. Mereka khawatir akan masa depanku dan juga mereka ingin agar diriku mampu meneruskan prestasi Ayahku yang merupakan seorang ilmuwan ternama. 

     Hari demi hari kujalani, setiap harinya kegiatan yang kulakukan hanya belajar dan belajar. Perlakuan kedua orang tuaku juga semakin lama menjadi semakin agresif, karena semakin lama mereka semakin membatasi waktuku untuk bersantai. Tidak peduli akan kondisiku, mereka tidak akan memperbolehkan diriku untuk beristirahat sebelum aku belajar sesuai dengan jadwal yang diberikan. Pada awalnya tentu aku merasa biasa saja, namun lama kelamaan aku pun merasa terbebani karena jadwal yang mereka berikan seakan-akan menyiksaku secara perlahan. Setiap harinya aku hanya mempunyai waktu 9 jam sepulang sekolah sebelum aku tidur dan 7 jam dari waktu tersebut harus digunakan untuk belajar. Tentu saja bukan hanya bosan, lama kelamaan aku pun juga menjadi lelah.

     Pelaksanaan olimpiade pun semakin dekat, namun situasiku tak kunjung membaik. Tekanan yang diberikan oleh orang tuaku sungguh membuat diriku tersiksa, hingga pada akhirnya sampailah diriku pada hari pelaksanaan olimpiade. Saat memasuki ruangan, jantungku berdetak sangat kencang. Aku sungguh khawatir kalau aku akan gagal. Lama kelamaan perasaan khawatir ini tumbuh semakin besar dalam diriku, kepalaku terasa sangat berat dan sakit hingga mau pecah rasanya. Aku tidak bisa fokus sedikitpun ketika mengerjakan, namun aku tetap berusaha sebaik mungkin agar hendaknya keinginan orang tuaku dapat terwujud. 2 jam yang kulalui di sana terasa seperti berabad-abad di dalam sebuah neraka hingga pada akhirnya aku pun mampu menyelesaikan soal-soal olimpiade tersebut.

     Saat aku keluar ruangan, kebetulan Aksa melihat diriku dan ia tahu bahwa kondisiku sedang tidak baik-baik saja. Pada akhirnya ia pun memanggil Pak Botak yang merupakan penjaga UKS sekaligus seorang guru BK di sekolah kami dan membawa diriku ke ruang UKS. Di sana aku pun meminum beberapa obat-obatan untuk meredakan sakit kepala dan akhirnya beristirahat. Walaupun begitu, jauh di dalam lubuk hatiku aku masih merasa khawatir. Hingga hari yang kutunggu pun akhirnya tiba, yaitu hari pengumuman pemenang olimpiade.

     Saat itu, aku sungguh shock bukan main setelah mendengar fakta bahwa nilaiku adalah yang terendah di olimpiade tersebut dan Emily lah yang memenangkannya. Sebenarnya aku cukup senang terhadap emily, namun aku terkejut, bagaimana bisa aku mendapat nilai terendah dalam olimpiade tersebut. Atas kejadian ini juga teman-temanku di kelas mulai membuat rumor mengenai diriku. Rumor yang paling menyakiti diriku adalah bahwa sebenarnya selama ini nilai bagus yang kudapatkan adalah hasil dari menyuap para guru. Setiap harinya mereka memandangku dengan tatapan sinis dan mulai menghina diriku. Keseharianku di sekolah menjadi sangat suram, dan melihat hal ini Pak Botak pun mulai mengambil tindakan dengan menegur mereka, tetapi hal itu tidak mempengaruhi apa-apa. Emily dan Aksa juga turut membantu tetapi tidak banyak yang mereka bisa lakukan.

     Keadaan di rumah juga sama saja, bukannya menyemangati diriku, kedua orang tuaku malah memarahiku setiap saat. Mereka mulai membandingkan diriku dengan Emily dan berharap bahwa aku bukanlah anak mereka. Setiap malam perkataan dari orang tua maupun teman-temanku selalu berdengung dalam pikiranku. Hal itu membuat diriku terasa seperti dihantui rasa bersalah yang sangat mendalam. Terkadang aku pun sampai berpikir bahwa sudah sepantasnya aku tidak dilahirkan di dunia ini.

     Hari ini, Aksa datang ke rumahku karena ia merasa khawatir kepadaku, katanya. Namun, kehadiran Aksa hanya membuatku kesal, karena aku merasa membutuhkan waktu untuk sendiri. Ia membawa makanan yaitu kue kesukaanku, namun kue itu tidak membuat aku merasa baik sama sekali. Aksa bertanya banyak hal yang akupun tidak ingin menjawabnya. Pertanyaan-pertanyaan bodoh yang diucapkan Aksa membuatku jengkel dan ingin sekali Aksa pergi dari rumahku sekarang juga.

    Keesokan harinya, Aku kembali datang ke sekolah walau masih teringat dengan kejadian kemarin. Ditambah Aksa yang kemarin datang kerumahku yang membuatku semakin kesal. Biasanya aku datang terlebih dahulu daripada Aksa, tetapi sekarang Aksa yang menunggu kedatanganku. Sebenarnya aku kurang bersemangat hari ini. Aku datang disaat 5 menit lagi bel akan berbunyi. Tak biasanya aku seperti ini. 

     Aku berjalan menuju mejaku sambil memikirkan tentang kejadian kemarin. Hingga aku tak sadar bahwa Aksa menyapaku. Aksa yang melihatku duduk dengan pandangan kosong, ia segera menghampiriku. Kedatangan Aksa justru membuatku kaget. Aksa berusaha menanyakan kondisiku, tetapi hanya membuatku semakin kesal. Tanpa disadari, Aku melampiaskan kemarahanku kepada Aksa. Aksa yang selalu sabar menghadapi sikapku kemudian mencari cara agar Aku bisa kembali seperti Mentari yang dulu.

     Tak terasa bel masuk sudah berbunyi, pelajaran pertama sudah dimulai yaitu pelajaran Matematika yang diajari oleh Pak Mancung. Ketika pembelajaran berlangsung, Aku melihat Aksa sedang memikirkan sesuatu. Ternyata Aksa masih memikirkan cara agar Aku bisa kembali seperti dulu. Aksa terpikirkan untuk membawa ku ke psikiater tetapi tanpa aku menyadari bahwa akulah yang dibawa kesana. Akhirnya saat pulang sekolah, Aksa mengajakku ke psikiater dengan alasan menemani dirinya untuk konsultasi. Sesampainya disana, Aksa memang terlihat sedang berkonsultasi. Padahal yang sebenarnya Aksa sedang menceritakan kondisiku kepada psikiater itu, Dr. Albert namanya. Sampai akhirnya Aksa menawarkanku untuk berkonsultasi juga. Aksa memberikan alasan bahwa tidak ada salahnya jika sekedar konsultasi ke psikiater. Aku menuruti perkataan Aksa, aku berusaha menceritakan semua yang terjadi pada diriku selama ini. 

Singkat cerita, konsultasi ini pun selesai. Aku duduk di kursi tunggu di depan ruang konsultasi. Tak lama kemudian Dr. Albert kembali memanggil Aksa. Entah apa yang mereka bicarakan. Ternyata Dr. Albert memberikan hasil diagnosisku kepada Aksa. Tetapi Aksa menutupinya dariku.

     Karena penasaran aku bertanya padanya. Ada apa denganku sebenarnya, tapi Aksa hanya mengatakan dengan lembut semua akan baik-baik saja. Aksa mengantarkanku pulang sampai masuk kerumah. Ketika Aku ingin masuk ke kamar, aku melihat Aksa sedang berbincang dengan orang tuaku, namun hanya sebentar saja setelahnya ia langsung bergegas kembali kerumahnya. 

Keesokannya aku bangun pagi-pagi. Entah apa yang membuatku bangun sepagi ini. Aku merasa seperti ada sesuatu yang mencurigakan. Aku keluar dari kamar dan melihat keberadaan Aksa di rumahku. Ternyata Aksa memberikan amplop putih berisikan selembar kertas. Orang tuaku membaca isi dari kertas itu. Seketika orang tuaku seperti cemas dan berekspresi seolah-olah menyesal. Aku tidak tahu apa yang terjadi, situasi ini membuatku sangat bingung.

     Aku memutuskan untuk menghampiri mereka untuk mencari tahu apa yang sebenarnya. Aksa yang melihatku menghampirinya sontak keget. Orang tuaku langsung memelukku. Aku yang tak tahu apa pun menjadi tambah bingung. Orang tuaku memberitahuku tentang isi surat itu, ternyata aku mengalami Multiple Personality Disorder atau yang lebih dikenal dengan kepribadian ganda. Aku menangis mendengar apa yang terjadi pada diriku. Aku merasa selama ini aku baik baik saja, tetapi hal lain terjadi pada diriku. Akhirnya orang tuaku memutuskan melakukan pengobatan untuk menyembuhkanku. Aku setuju dengan keputusan ini. Aksa yamg berada disampingku pun turut mendukung dan menyemangatiku untuk sembuh.

     Seiring pengobatan berjalan, perlahan keadaanku membaik. Ini semua juga karena dukungan orang-orang disekitarku, termasuk Aksa yang selalu ada disaatku membutuhkan seseorang yang bisa memahami diriku. Aku sangat berterima kasih kepada Aksa karena telah menguatkanku disaat semua orang ingin menghentikan langkahku. Aku menganggap ini semua adalah petulangan yang menakjubkan, pengalaman kehidupan yang harus kujadikan pelajaran untuk kedepannya. Dan untuk Aksa yang telah hadir dan menemaniku dalam petualangan menakjubkan ini, meyakinkan diriku untuk menjadi diri sendiri dan tak peduli dengan anggapan orang lain. Aku mensyukuri hidupku kembali seperti Mentari yang dulu dan aku berjanji apa pun yang terjadi nanti aku akan melewatinya dengan penuh semangat dan menjadi diriku sendiri.

END
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kamu Pembaca Ke

Random Post

Galeri foto

Galeri foto

Ikuti media sosial kami